Pimpinan KPK Kesal Masyarakat Pilih Koruptor di Pilkada

Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif, menilai politisi yang tidak transparan bisa menyuburkan praktek korupsi. Untuk itu, dia menilai seharusnya catatan kriminal seorang calon menjadi bahan penilaian masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya.

"KPK pada saat pilkada, nama-nama bekas napi korupsi yang dikirim ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat dan daerah disebarluaskan. Media juga beritakan tidak baik. Masalahnya, masyarakat melihat itu oke-oke saja," kata Laode dalam Seminar Nasional Anti Corruption and Democracy Outloook 2016 di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa 15 Maret 2016.

Menurutnya, rekam jejak kriminal sangat penting dalam mencari kerja. Di luar negeri, rekam jejak ini seakan bisa 'membunuh' masa depan orang itu. Bahkan, mereka yang memiliki rekam jejak kriminal, tidak akan dipercaya sekadar menjadi pelayan.

"Kalau kita aneh. Sudah masuk penjara gara-gara korupsi, malah terpilih jadi pemimpin. Yang salah masyarakat juga masih pilih orang kayak gitu. Sistemnya di kita juga, orang yang sudah korupsi masih boleh mencalonkan gubernur dan bupati," sesal Laode.

Laode menambahkan, demokrasi dan antikorupsi memiliki hubungan erat. Negara yang memiliki sistem demokrasi bagus, punya indeks persepsi korupsi tinggi. Namun, hal ini tidak terjadi di Indonesia, sehingga dia menilai dari segi prosedur demokrasi di negara ini sudah maju, tapi dari segi substansi masih rendah. 

"Masyarakat antikorupsi Indonesia belum mencegah korupsi yang sangat masif," kata Laode. 

Sebelumnya, pasangan Gusmal dan Yulfadri Nurdin terpilih menjadi Bupati di Solok, Sumatera Barat, pada Pilkada serentak 2015. Gusmal pernah menjalani hukuman 2,5 tahun penjara pada 2012 lalu, karena terbukti melakukan korupsi terkait pengalihan tanah negara bekas erfpacht verponding 172, di Bukit Berlicut, Solok Selatan pada 2007 lalu.