Kisah Tan Malaka Menyamar Saat Proklamasi
Rabu, 2 Maret 2016 - 06:07 WIB
Sumber :
- Dody Handoko
VIVA.co.id - Tan Malaka bernama asli Ibrahim. Sebagai putra bangsawan Minangkabau, ia bergelar Datoek Tan Malaka. Gelar itu diberikan tahun 1913 dalam suatu upacara adat yang khidmat.
Ia lahir (kemungkinan) tahun 1894 di desa kecil bernama Pandan Gadang, tak jauh dari Suliki, Sumatera Barat. Tata kemasyarakatan di tempat kelahirannya akan mewarnai radikalitas gerakan yang ia lakukan di kemudian hari.
Tan Malaka merupakan tokoh pejuang Indonesia yang pertama kali mempublikasikan gagasan Indonesia Merdeka, jauh sebelum gagasan yang sama disuarakan Hatta dan Sukarno.
Berbeda dengan Sukarno, berbeda dengan Hatta, berbeda dengan Soedirman, Tan Malaka memilih jalan sendiri. Aliran kiri yang dianut serta kiprahnya dalam pusaran komunis dunia, membuat nama Tan Malaka tidak lebih kecil dari nama Sukarno. Ia bukan saja diburu intel pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga diburu intel-intel negara-negara di belahan dunia lain.
Karena itu, Tan Malaka sering menyamar menjadi orang lain, termasuk saat hari-hari penting sedang berlangsung di Jakarta, menjelang proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Banyak orang yang menanyakan di mana Tan Malaka saat Sukarno membacakan teks proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur.
Baca Juga :
Dalam buku Total Bung Karno karya Roso Daras diceritakan ternyata Tan Malaka ada di sekitar Jakarta. Ia datang dari Banten, bukan sebagai Tan Malaka, melainkan sebagai pemuda Banten bernama Hussein. Lengkapnya Iljas Hussein. Ia bahkan sempat menemui sejumlah tokoh pergerakan dari kalangan pemuda, antara lain Soekarni.
Bahkan Soekarni yang tidak tahu sedang berbicara dengan Tan Malaka, sempat menyuruh Hussein pulang ke Banten dan menghimpun para pemuda guna menyambut proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus.
Selain Soekarni, Tan Malaka yang menyamar sebagai Hussein itu juga menemui Chaerul Saleh. Chaerul dan Soekarni paham benar dengan semua gagasan dan pemikiran Hussein. Mereka menyadari bahwa Hussein sedang mengemukakan ide-ide Tan Malaka. Tapi sungguh keduanya tidak menduga bahwa Hussein itulah Tan Malaka.
Dalam biografinya, Tan Malaka juga sempat menyinggung peristiwa pembacaan teks proklamasi. Ia menuliskan begini, “Rupanya, sejarah Proklamasi 17 Agustus tiada mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tiada memedulikan penyesalan seseorang manusia atau pun segolongan manusia.”
(mus)