Hakim: Salim Kancil Terbunuh Karena Pembiaran Aparat
- VIVA/Nur Faishal
VIVA.co.id - Hakim anggota perkara dugaan tambang ilegal dalam peristiwa Salim Kancil, Erfan Basuning, menilai tragedi berdarah di Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang, berawal dari adanya pembiaran tambang ilegal oleh aparat dan pemerintah setempat.
"200 Truk pasir lewat tengah kota setiap hari, masa tidak ada yang tahu aparat setempat. Bukan kelalaian, saya kira ada pembiaran," kata Erfan usai sidang perkara ini di PN Surabaya, Kamis, 25 Februari 2016.
Dia mengaku heran Kepolisian Resor Lumajang tidak mengetahui adanya aktivitas tambang ilegal di Desa Selok Awar-awar yang dikelola kepala desa saat itu, terdakwa Hariyono. Padahal, tambang tersebut berjalan cukup lama. "Baru setelah Salim Kancil tewas, aparat bergerak," ujarnya.
Humas PN Surabaya itu menilai, aparat kepolisian melakukan pembiaran hingga aksi anarki terhadap dua aktivis antitambang, Salim Kancil dan Tosan, terjadi. "Saya kira garda terdepan di sini harusnya aparat penegak hukum di sana," ucapnya.
Saat sidang, saksi dari penyidik Polres Lumajang, Briptu Hasan Basri, menyampaikan ketidaktahuannya soal tambang ilegal yang dikelola Hariyono dan kawan-kawan. Dia mengaku baru megetahui itu setelah peristiwa Salim Kancil pecah.
Hakim menyangsikan pengakuan saksi itu. "Masa tidak tahu?" kata hakim Erfan.
Kasus ini bermula ketika puluhan orang protambang mengeroyok aktivis antitambang, Salim Kancil dan Tosan, di Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang, 26 September 2015. Salim tewas secara tragis hingga memantik perhatian nasional. Total 37 orang jadi pesakitan dalam perkara ini.