Aliansi LSM di Indonesia Tolak Perppu Kebiri

Ilustrasi kekerasan seks
Sumber :
  • istimewa

VIVA.co.id – Pemerintah sedang menggodok rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam rancangan ini, pemerintah berencana memasukkan kebiri sebagai salah satu jenis pemidanaan.

Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri, sebuah jaringan organisasi nonpemerintah yang menaruh perhatian pada anak-anak korban kejahatan kekerasan seksual dan reformasi hukum di Indonesia menentang niat pemerintah tersebut.

Aliansi ini mengkritik rencana pemerintah, karena rancangan Perppu hanya menambahkan pemberatan pidana dalam beberapa pasal tertentu di UU perlindungan anak. Namun, perubahan kebijakannya ini sama dengan saat perubahan pertama UU Perlindungan Anak di tahun 2014.

Dalam rancangan Perppu tersebut tampaknya ditujukan untuk menghukum secara keras dan memberikan efek jera. Namun, rancangan dalam naskah justru tidak menyasar residivis, ini berarti menunjukkan arah Perppu hanya pemberatan pidana, bukan rehabilitasi.

"Inkonsistensi terlihat jelas dalam Perppu ini," ujar Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono, yang juga anggota Aliansi 99 kepada VIVA.co.id, Jumat, 19 Februari 2016.

Selain itu, draf Perppu tidak dibarengi dengan analisis mengenai dasar peningkatkan hukuman dan pemberatan terhadap pasal-pasal yang dimaksud. Penempatan hukum kebiri juga dikategorikan sebagai pidana tambahan, namun penjatuhannya menjadi pidana pokok, wajib dan kumulatif, seakan-akan hakim dipaksa memberikan pidana penjara sekaligus kebiri. 

"Dalam konteks hukum pidana, hal ini menyalahi esensi pidana tambahan dan dapat mengakibatkan kerancuan hukum nasional," ujarnya menambahkan.
 
Selain itu, skema hukuman kebiri kimia yang diperkenalkan bersifat represif, sehingga menghasilkan konsep penghukuman badan karena ada pemaksaan dalam bentuk fisik. Menurutnya, ini adalah bentuk penghukuman primitif dan bertentangan dengan konvensi antipenyiksaan yang telah ditandatangani Indonesia. Ke depan, hal ini juga dikhawatirkan merusak skema pemidanaan yang sudah dikonsep dalam rancangan KUHP.
 
Dalam hukum kebiri ini, penyuntikan akan diberikan secara terus menerus selama terpidana dipenjara. Aliansi meragukan jaminan efek hukuman ini bisa bertahan setelah terpidana keluar penjara. Masalah lainnya adalah besaran jumlah biaya yang harus dikeluarkan negara. Dari pengalaman beberapa negara, suntik kebiri secara kimiawi harus diberikan rutin dua minggu sekali.
 
Terakhir, draf Perppu tidak menyinggung mengenai pemulihan korban. "Pemerintah sama sekali tidak membicarakan akses pemulihan, penyediaan layanan atau memperkenalkan konsep kompensasi terhadap anak korban."

Bagi Aliansi 99, langkah ini merupakan langkah mundur yang diambil negara. Biaya besar yang dikeluarkan untuk pelaku, harusnya bisa dialihkan untuk mengambil langkah strategis dalam pemulihan korban.

(mus)