Tutup Celah Mafia Perkara, MA Perlu Efisiensi Birokrasi

Logo Mahkamah Agung.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Andika Wahyu

VIVA.co.id – Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LEIP), Arsil menilai, permasalahan mafia perkara di Mahkamah Agung (MA) muncul karena adanya inefisiensi birokrasi.

Ia mengatakan, berbicara soal birokrasi di MA sangat terkait dengan putusan MA yang tidak efisien. "Semakin besar organisasi, semakin besar birokrasinya. Sehingga semakin banyak pegawai. Semakin banyak pegawai, semakin sulit pengawasannya. Sehingga semakin banyak celah," kata Arsil saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis, 18 Februari 2016.

Menurut dia, putusan MA sangat tebal. Sementara putusan tersebut harus melalui pengetikan. Sehingga semakin tebal putusan maka semakin besar beban pengetikan. Akibatnya, semakin lama waktu yang dibutuhkan yang bisa menimbulkan celah permainan.

"Padahal (pertimbangan) putusan MA sendiri sangat ringkas. Jadi hanya 1 halaman. Untuk memproduksi (1 bundel) putusan itu membutuhkan waktu sedemikian lama. Bukan untuk membuat putusannya dan musyawarahnya. Tapi untuk mengetik putusan. Sementara esensi yang dihasilkan MA tidak lebih dari 1 lembar," katanya menambahkan.

Solusi untuk menutup celah munculnya mafia perkara, putusan MA perlu diformat ulang. Sehingga MA perlu mencari model putusan yang lebih sederhana. Hal ini akan mengurangi inefisiensi. Ia mencontohkan. Untuk putusan korupsi biasanya satu bundel putusan berjumlah 70-an halaman. Sementara pertimbangan hanya 1,5 lembar.

"Terlalu banyak yang tidak penting masuk dalam putusan MA. Dakwaan bisa dibuang. Toh sudah dapat juga. Penghematannya 90 persen. Maka akan terjadi penghematan waktu dan jumlah pegawai yang harus direkrut. Semakin kecil pegawai yang direkrut, semakin ramping organisasinya. Sehingga semakin mudah pengawasannya. Problemnya ada di situ."

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencokok Kasubdit Pranata Perdata MA, ATS, Jumat 11 Februari 2016. Ia diduga menerima suap Rp400 juta dari Direktur PT Citra Gading Asritama, Ichsan Suadi. Pada kesempatan terpisah, KPK juga menangkap tangan Ichsan.

Suap tersebut diduga ditujukan untuk menunda salinan putusan kasasi  Ichsan Suadi sebagai terdakwa. Selain menangkap tangan keduanya, KPK juga menangkap empat orang lainnya. Mereka adalah pengacara Ichsan, Awang Lazuardi Embat, sopir yang bekerja pada Ichsan dan dua orang satpam yang bekerja pada ATS.

(mus)