Sanksi Bupati Bangka yang Usir Jemaah Ahmadiyah
- ANTARA/Widodo S. Jusuf
VIVA.co.id – Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo dinilai mimiliki kewenangan yang terbatas untuk mencopot Bupati Bangka, Tarmizi, pasca pengusiran paksa Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kelurahan Sri Menanti, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka yang diinisiasi oleh Tarmizi, Jumat 5 Februari 2016 kemarin.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan, tidak ada dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang mengatur kewenangan Mendagri untuk mencopot Bupati atau Wali Kota seperti dalam kasus Ahmadiyah di Bangka.
"Seorang kepala daerah dimungkinkan dicopot, apabila ia melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana korupsi," kata Bonar, kepasa VIVA.co.id, Selasa, 9 Februari 2016.
Menurut Bonar, mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah harus melalui DPRD setempat.
"Jadi, DPRD yang meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah. Dalam sistem otonomi daerah kita, kewenangan pemerintah pusat dibatasi," ucap dia.
Kata Bonar, jika DPRD tidak memproses pelanggaran kepala daerah, maka Gubernur sebagai wakil pemerintah berhak melakukannya. Akan tetapi, jika Gubernur tidak bisa melakukan maka Menteri Dalam Negeri bisa langsung melakukan supervisi.
"Pemerintah pusat harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk menemukan bukti-bukti yang kuat. Pemerintah pusat juga harus memberikan teguran tertulis dulu setidaknya tiga kali," kata dia.
Bonar juga mengkritik, sistem otonomi daerah yang dinilai hanya eksperimen sistem baru dalam pemerintahan pasca era Suharto. Untuk itu perlu terus diperbaharui sesuai dengan dinamika, termasuk relasi kewenangan antara pemerintahan pusat dan daerah.
"Tapi apapun itu kewenangan utama untuk melindungi kelompok minoritas keagamaan adalah ditangan pemerintah pusat. Karena masalah agama adalah salah satu urusan yang tidak didesentralisasi," katana dia.