Kisah Naskah Mahakarya Pramoedya Disimpan di Lubang 'Tinja'
Jumat, 5 Februari 2016 - 06:12 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Januar Adi Sagita
VIVA.co.id - Pencinta sastra tentu mengenal novel sejarah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Novel dengan latar Indonesia pada masa penjajahan Belanda pada 1898 hingga 1918 itu disebut sebagai salah satu mahakarya atau karya terbaik Pramoedya.
Bumi Manusia ialah satu di antara empat novel (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang dikenal juga dengan sebutan Tetralogi Buru, karena dikarang saat Pramoedya diasingkan di Pulau Buru, Maluku, pada 1969 sampai 1979.
Bumi Manusia telah 19 kali cetak ulang sejak tahun 1980 sampai 2015. Diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, di antaranya, Belanda, Tiongkok, Inggris, Jerman, Rusia, Ukraina, Swedia, Jepang, Spanyol, Perancis, Italia, Norwegia, India, Thailand, Filipina, dan lain-lain.
Tetralogi Buru mengantarkan Pramoedya meraih banyak penghargaan dunia di bidang sastra. Karena Tetralogi Buru pula Pramoedya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat pemenang penghargaan Nobel untuk kategori sastra.
Majalah Time pernah menulis: “Pramoedya Ananta Toer, kandidat Asia paling utama untuk Hadiah Nobel.”
The New York Times menyebut “Pramoedya Ananta Toer adalah seorang master cemerlang dalam mengisahkan liku-liku emosi, watak, dan aneka motivasi yang serba rumit.”
Bumi Manusia, ditulis The Los Angeles Times, “Menukik dalam, lancar penuh makna, dan menggairahkan seperti James Balwin … Segar, cerdas, kelabu, dan gelap seperti Dashiell Hammett. Pramoedya adalah seorang novelis yang harus mendapat giliran menerima Hadiah Nobel.”
Penyelundupan naskah
Namun tak banyak orang yang mengetahui kisah sebelum Bumi Manusia dicetak untuk kali pertama, sampai ke tangan pembaca, dan kemudian melambungkan nama Pramoedya. Pramoedya, yang dibuang ke Pulau Buru karena dituduh terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia pada 1965, mengarang Bumi Manusia secara sembunyi-sembunyi di tahanan Pulau Buru.
Manuskrip atau naskah asli Bumi Manusia tak mungkin bisa keluar Pulau Buru karena pengawasan super ketat di sana. Ada seorang pria yang berjasa menyelundupkan naskah asli Bumi Manusia keluar Pulau Buru. Dia adalah Oei Hiem Hwie. Lelaki yang kini berusia 81 itu pernah ditahan juga bersama Pramoedya di Pulau Buru.
Oei sebenarnya kelahiran Malang tetapi bermukim di Surabaya setelah bebas dari Pulau Buru. Dia mendirikan sebuah perpustakaan untuk umum di Surabaya. Sebagian buku koleksinya adalah semua karya Pramoedya, termasuk naskah asli Bumi Manusia.
Oei bercerita, dia dikirim ke Pulau Buru pada tahun 1970, setahun setelah Pramoedya. Dia sebelumnya memang telah mengetahui Pramoedya ditahan di Pulau Buru tetapi belum tahu persis lokasi blok tempat Sang Master dibui.
Oei pun mencari informasi tentang di blok mana Pramoedya ditahan. Usahanya membuahkan hasil. Oei memperoleh informasi bahwa Pramoedya ditahan di Unit III. Dia mengakui sebenarnya informasi keberadaan Pramoedya didapat dengan relatif mudah. Sebabnya Pramoedya adalah orang yang populer sehingga banyak pula tahanan politik yang mengenalinya.
Keduanya mengobrol dan berdiskusi banyak hal setelah bertemu. Mereka kemudian kian akrab. Oei mengaku sering membantu Pramoedya, termasuk membantu melobi penjaga tahanan untuk meminjam mesin ketik.
Dengan mesin ketik itu, Pramoedya mengarang sebuah naskah yang kemudian menjadi cikal-bakal novel Bumi Manusia. Namun aktivitas mengarang itu dilakukan Pramoedya dengan sembunyi-sembunyi.
Untuk menjaga agar naskah hasil karangan itu tidak diketahui penjaga, Pramoedya dan Oei bersekongkol membuat lubang yang ditutupi sehingga menyerupai tempat penampungan tinja atau septic tank.
“Kami membungkus naskah yang diketik Pram di kertas tipis itu dengan daun pisang, dan dimasukkan ke lubang itu. Jadi orang-orang mengira kalau lubang itu memang tempatnya tinja,” kata Oei ditemui VIVA.co.id pada Senin, 1 Februari 2016.
Pramoedya menolak
Baca Juga :
Berbagai naskah itu kemudian dikumpulkan Oei. Dia juga menyatukan semua naskah dengan lem yang terbuat dari singkong yang direbus hingga tanak. Saat Oei bebas, Pramoedya menitipkan naskah itu kepadanya.
Awalnya, Oei merasa khawatir dengan tindakan Pramoedya. Beruntung saat itu naskah yang telah disampul dengan kertas semen berulang kali lolos dari pemeriksaan, termasuk pemeriksaan saat Oei berada di kapal untuk kembali pulang ke Surabaya.
Meski demikian, Oei mengaku bahwa bukan hanya dia yang telah menyelamatkan naskah asli Bumi Manusia itu. Seorang pastor juga ikut menyelipkan naskah itu, bahkan mengirimkannya kepada Hasta Mitra, penerbit buku yang kali pertama mencetak Bumi Manusia.
Setelah Pramoedya bebas dari tahanan Pulau Buru, Oei berencana mengembalikan semua naskah yang disimpannya. Namun Pramoedya justru menolaknya. Pramoedya hanya meminta fotokopi semua naskah karyanya. Oei menduga, Pramoedya masih khawatir naskah itu akan dirampas aparat pemerintah Orde Baru. Dia merasa akan lebih aman jika naskah itu disimpan Oei.
Sampai sekarang naskah itu masih disimpan Oei di perpustakaan miliknya, yang juga dibuka untuk umum, Medayu Agung. "Jadi, biarlah seluruh generasi muda bisa mengaksesnya, karena naskah itu pada dasarnya milik semua anak bangsa," ujar Oei.