MK Serahkan Wacana Revisi Pasal 158 UU Pilkada ke DPR
Rabu, 27 Januari 2016 - 10:14 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Jelang berakhirnya tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015, sejumlah daerah bersiap melaksanakan Pilkada serentak pada 2017. Wacana revisi Undang-undang (UU) Pilkada pun muncul, khususnya soal pasal 158 UU Pilkada.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono Soeroso menanggapi banyaknya kritik terhadap pasal 158 UU Pilkada yang isinya mengatur batas selisih perolehan suara untuk mengajukan gugatan ke MK.
Baca Juga :
"Apa yang diamanatkan UU, itulah yang dilaksanakan MK. Maka terserah nih, pasal 158 mau dihapus, mau dinaikkan persentasenya, MK sekadar menafsirkan," ujar Fajar di Gedung MK, Rabu, 27 Januari 2016.
Ia menambahkan, tidak mungkin MK membuat keputusan sendiri untuk memperlebar kewenangan itu, sementara sudah diamanatkan dalam Pasal 158 UU Pilkada. Meski MK menolak disebut sebagai 'corong', Fajar mengakui, UU selalu menjadi dasar dan pegangan MK dalam membuat putusan.
Ketika ditanya soal tudingan MK salah menafsirkan Pasal 158 UU Pilkada saat menuangkannya dalam Peraturan MK (PMK), Fajar mengklaim dalam menyusun PMK, posisi MK berbeda dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurutnya, KPU dalam membuat peraturan harus berkonsultasi lebih dulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"MK tidak berkonsultasi dengan penyusun UU. PMK ini otoritas MK. Jadi tidak ada kewajiban MK berkonsultasi dengan siapapun. Bahwa kemudian dibilang salah tafsir ya silakan. Mau judicial review ya silakan," kata Fajar.
Sebelumnya, sejumlah praktisi hukum dan pengamat Pemilu mengkritik pasal 158 UU Pilkada. Pasal ini mengatur soal syarat batas selisih perolehan suara dalam Pilkada untuk mengajukan gugatan ke MK, sehingga hanya dengan batas yang minim antara pemohon dengan peraih suara terbanyak, seseorang bisa mengajukan gugatan hasil Pilkada.
Menurut mereka, adanya syarat batas selisih suara yang harus dipenuhi dinilai mengesampingkan keadilan substantif. Hal ini menyebabkan MK dituding seperti mahkamah kalkulator yang hanya melihat gugatan dari sisi hitung-hitungan perolehan selisih suara, dan tak melihat adanya kecurangan yang masif dan sistematis.