Rano Karno Dicecar KPK soal Suap Pembentukan Bank Banten
Kamis, 7 Januari 2016 - 16:30 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA.co.id - Gubernur Banten, Rano Karno menjalani pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hampir lima jam, Kamis, 7 Januari 2015.
Rano diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan suap pemulusan penyertaan modal PT BGD pada ABPD tahun anggaran 2016 untuk pembentukan Bank Banten.
Usai menjalani pemeriksaan, Rano mengaku dicecar sejumlah hal oleh penyidik. Termasuk mengenai adanya permintaan uang dari pihak DPRD Provinsi Banten untuk memuluskan pembentukan Bank Banten.
"Saya sudah memberikan keterangan tentang bagaimana proses (pembentukan) Bank. Kemudian apakah benar ada permintaan, saya sudah sampaikan betul ada permintaan," kata Rano di Gedung KPK, Jakarta.
Rano mengaku mengetahui adanya permintaan uang tersebut dari Direktur Utama PT Banten Global Development (BGD), Ricky Tampinongkol. Atas permintaan itu, Rano mengklaim telah melarang Ricky untuk memberikannya.
Saat disinggung mengenai siapa saja pihak dewan yang meminta uang Rp10 Miliar itu, Rano enggan mengungkapkannya. Dia hanya menyebut telah menyampaikan adanya permintaan itu pada pihak KPK.
"Saya tidak sebut siapa, saya hanya sebut dewan," ujar dia.
Dia juga tidak mengetahui apakah permintaan itu bertujuan memuluskan Bank Pundi untuk diakusisi menjadi Bank Banten. "Belum ada yang ditentukan soal itu," kata Rano.
Diketahui, kasus dugaan suap itu terungkap saat KPK melakukan operasi tangkap tangan di kawasan Serpong, Banten, pada Selasa, 1 Desember 2015. KPK menangkap Wakil Ketua DPRD Banten, SM Hartono; Anggota DPRD Banten, Tri Satria Santosa, dan direktur BUMD Banten Global.
Saat ditangkap, telah terjadi transaksi suap terkait pembentukan Bank Pembangunan Daerah Banten. Pada saat kejadian, KPK menyita US$11.000 dan Rp60 juta.
Berdasarkan hasil gelar perkara, KPK menyimpulkan telah terjadi tindak pidana korupsi yang kemudian menetapkan tiga orang itu sebagai tersangka.
Sebagai pihak penerima suap, Tri dan Hartono disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sebagai pihak pemberi suap, KPK menetapkan Ricky sebagai tersangka. Dia dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Baca Juga :
Rano diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan suap pemulusan penyertaan modal PT BGD pada ABPD tahun anggaran 2016 untuk pembentukan Bank Banten.
Usai menjalani pemeriksaan, Rano mengaku dicecar sejumlah hal oleh penyidik. Termasuk mengenai adanya permintaan uang dari pihak DPRD Provinsi Banten untuk memuluskan pembentukan Bank Banten.
"Saya sudah memberikan keterangan tentang bagaimana proses (pembentukan) Bank. Kemudian apakah benar ada permintaan, saya sudah sampaikan betul ada permintaan," kata Rano di Gedung KPK, Jakarta.
Rano mengaku mengetahui adanya permintaan uang tersebut dari Direktur Utama PT Banten Global Development (BGD), Ricky Tampinongkol. Atas permintaan itu, Rano mengklaim telah melarang Ricky untuk memberikannya.
Saat disinggung mengenai siapa saja pihak dewan yang meminta uang Rp10 Miliar itu, Rano enggan mengungkapkannya. Dia hanya menyebut telah menyampaikan adanya permintaan itu pada pihak KPK.
"Saya tidak sebut siapa, saya hanya sebut dewan," ujar dia.
Dia juga tidak mengetahui apakah permintaan itu bertujuan memuluskan Bank Pundi untuk diakusisi menjadi Bank Banten. "Belum ada yang ditentukan soal itu," kata Rano.
Diketahui, kasus dugaan suap itu terungkap saat KPK melakukan operasi tangkap tangan di kawasan Serpong, Banten, pada Selasa, 1 Desember 2015. KPK menangkap Wakil Ketua DPRD Banten, SM Hartono; Anggota DPRD Banten, Tri Satria Santosa, dan direktur BUMD Banten Global.
Saat ditangkap, telah terjadi transaksi suap terkait pembentukan Bank Pembangunan Daerah Banten. Pada saat kejadian, KPK menyita US$11.000 dan Rp60 juta.
Berdasarkan hasil gelar perkara, KPK menyimpulkan telah terjadi tindak pidana korupsi yang kemudian menetapkan tiga orang itu sebagai tersangka.
Sebagai pihak penerima suap, Tri dan Hartono disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sebagai pihak pemberi suap, KPK menetapkan Ricky sebagai tersangka. Dia dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.