Soal Salah Tangkap, Pengamat: Densus 88 Tak Profesional

Ilustrasi/Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fajar Sodik

VIVA.co.id - Terjadinya kasus salah tangkap terduga teroris di  Solo pada 29 Desember 2015 dinilai bukti tidak profesionalnya Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88). Hal ini seolah membuktikan, informasi yang diperoleh densus terlalu mengandung prasangka.

"Ini efek kerja berdasarkan su'udzonisme (prasangka)," kata Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya saat dihubungi, Kamis, 31 Desember 2015.

Harits mengatakan, Kepolisian harus lebih berhati-hati dalam melakukan penangkapan. Selain itu rehabilitasi juga harus diberikan kepada Ayom Penggalih dan Nur Syawaludin yang menjadi korban. Ia mengkritik "kencangnya" pengaruh asing terhadap pemberantasan terorisme di Indonesia yang menurutnya bisa berpengaruh negatif terhadap negeri ini.

"Tapi dalam isu terorisme yang tampak sampai saat ini adalah kedzaliman murokab. Sudah jadi korban salah tangkap kemudian dilepas begitu saja. Permintaan maaf saja tidak, apalagi terpenuhinya hak lebih dari itu," katanya menambahkan.

Dua orang yang diketahui salah tangkap merupakan bagian dari penangkapan empat terduga teroris di Solo pada 29 Desember lalu. Ayom dan Nur Syawaludin ditangkap sekitar pukul 12.00 WIB pada tanggal tersebut kemudian sempat ditahan di Polsek Laweyan. Pada pukul 14.16 akhirnya dilepaskan polisi karena diketahui salah tangkap.

Ditangkap dengan Kasar

Ayom dan Nur Syawaludin tak terima dituding sebagai teroris. Mereka mengaku menjadi korban salah tangkap Densus 88. Ayom sendiri diciduk saat akan menunaikan shalat dzuhur. Sepeda motor yang dikendarainya menuju masjid tiba-tiba dipepet beberapa mobil Kijang Innova.

"Saat itu siapa tidak takut melihat rombongan orang keluar dari mobil mengeluarkan pistol. Padahal saya mau ke masjid tapi karena kaget saya langsung lari dan dihadang mobil Innova, karena bisa menghindar
kemudian ada mobil Innova lagi yang menghadang di depannya dan menabrak," kata Ayom di masjid Baitussalam, Tipes, Kota Solo pada Rabu 30 Desember 2015.

Dia kemudian terpental dari motornya. Wajahnya ditekan ke aspal jalan dan diborgol. Saat digelandang, wajah Ayom ditutup selembar baju hangat.

Pengalaman tak jauh berbeda dialami oleh Nur Syawaludin. Penangkapan terhadap dirinya dilakukan saat keluar dari  showroom ketika akan berangkat menuju masjid untuk menunaikan shalat zuhur.

"Setelah mereka keluar langsung mengeluarkan pistol dan menodongnya. Selain itu mereka juga bilang berasal dari Densus 88. Mengetahui seperti itu saya pun pasrah," kata Nur Syawaludin.

Dengan kondisi tangan diborgol, Nur dibawa ke salah satu sel di Polsek Laweyan. "Nah setelah itu ada anggota Densus datang dan menanyai saya apakah kenal dengan Hamzah. Saya jawab tidak," ujarnya.

(mus)