Lembaga Ini Disebut Pengekang Kebebasan Berpendapat
Sabtu, 26 Desember 2015 - 17:21 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/YUsran Uccang
VIVA.co.id
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat aparat kepolisian, pejabat publik, organisasi kemasyarakatan, aparat TNI, dan universitas sebagai lima pihak yang paling banyak melakukan pengekangan terhadap hak kebebasan berpendapat dan berkumpul sepanjang tahun 2015.
Koordinator Badan Pekerja KontraS Haris Azhar mengatakan, sepanjang tahun 2015, KontraS mencatat 238 peristiwa pembatasan kebebasan secara sewenang-wenang.
85 peristiwa itu dilakukan oleh aparat kepolisian. Peristiwa yang terjadi didominasi kasus pembubaran aksi unjuk rasa, penangkapan orang secara sewenang-wenang, pelarangan liputan kepada wartawan, pelarangan penyelenggaraan acara publik, hingga pelarangan penggunaan jilbab oleh anggota polisi wanita (polwan).
Baca Juga :
Sementara, pejabat publik tercatat terlibat dalam 49 peristiwa pembatasan kebebasan. Bentuk pembatasan antara lain pembredelan publikasi media massa cetak hingga pemblokiran beberapa situs web media online.
"Pemblokiran terkadang dilakukan atas nama pemberantasan faham radikalisme," ujar Haris.
Di urutan ketiga, organisasi massa (ormas) menjadi pihak yang terbanyak mengekang kebebasan berekspresi publik. Haris mengatakan pengekangan banyak dilakukan ormas yang menjunjung model advokasi keagamaan garis keras.
"Ada 31 kasus yang kami catat. Bentuknya seperti pembubaran paksa kegiatan ibadah, penyegelan rumah ibadah, hingga tindak intimidasi dan penganiayaan," ujar Haris.
Haris mengatakan aparat TNI ada di posisi keempat dengan 17 kasus. Tindakan pembatasan kebebasan yang dilakukan aparat TNI kebanyakan berkaitan dengan pers.
Aparat TNI tercatat sebagai pihak yang membatasi akses jurnalis ke daerah konflik. Aparat TNI, juga beberapa kali terlibat dalam tindakan pembubaran aksi unjuk rasa dan penganiayaan.
Di posisi terakhir, pihak universitas turut berperan dalam membatasi kebebasan berekspresi para mahasiswa. Ada lima peristiwa di mana universitas melarang pemutaran film tertentu, melarang diskusi, hingga melarang kegiatan yang sifatnya adalah perayaan terhadap pluralisme.
"Dengan kasus-kasus tersebut, ada kecenderungan yang menguat bahwa sepanjang tahun 2015, negara tidak hadir dalam menjamin kebebasan berekspresi dan berkumpul warga," ujar Haris.