PR Jokowi pada 2016, Berantas Intoleransi Beragama

Kerusuhan Tolikara Papua
Sumber :
  • VIVA.co.id/Banjir Ambarita

VIVA.co.id - Indonesia dianggap telah memasuki babak baru dalam menerapkan demokratisasi. Babak baru itu, setelah sukses melewati Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak untuk pertama kalinya yang terbilang cukup baik. Pesta demokrasi tersebut relatif tidak adanya aksi rusuh.

Namun, di balik kesuksesan tersebut, Presiden Joko Widodo masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang sebelumnya telah dicetuskan dalam Nawacita, tetapi belum terealisasikan sampai akhir 2015. Pekerjaan tersebut adalah toleransi dalam beragama.

Pengamat Politik Islam, Ali Munhanif mengatakan, Presiden sampai saat ini belum bisa menyelesaikan kasus-kasus intoleransi beragama di Indonesia. Hal ini tercermin dari masih ditemukannya kasus intoleransi yang terjadi sepanjang 2015.

"Di balik kesukesan demokrasi, tetapi sebenarnya belum bisa dikatakan matang. Fenomena intoleransi di masyarakat. Pembakaran rumah ibadah di Tolikara dan pembakaran gereja di Aceh itu salah satu contoh," ujar Ali dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu 19 Desember 2015.

Menurut dia, semakin maraknya gerakan radikal di Indonesia, akan membawa dampak negatif terhadap masyarakat secara umum. Apalagi, munculnya Islamic State of Iraq And Syria (ISIS) seakan membuka harapan bagi gerakan radikal tersebut untuk terus melakukan tindakan tak terpuji.

"ISIS itu memang terlalu jauh, tapi tetap perlu diantisipasi. Magnet yang dihasilkan ISIS itu berbahaya. Jaringan yang lama itu bisa tumbuh kembali dan bergabung. Ini akan ciptakan implementasi baru, framework baru," kata dia.

Presiden Joko Widodo, kata Ali, harus segera menindak lanjuti intoleransi beragama yang selama ini terjadi. Sehingga, kejadian serupa tidak terulang lagi pada 2016 mendatang.

"Saya kira, dengan Nawacita tersebut bukan hanya membangun slogan. Tetapi, antisipasi lewat kebijakan untuk menindak lanjuti potensi adanya radikal di masyarakat," tutur dia. (asp)