PSK Sunan Kuning Protes Pendapatan Berkurang
Selasa, 15 Desember 2015 - 10:23 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Sejumlah Pekerja Seks Komersial yang menghuni kompleks Sunan Kuning Semarang, Jawa Tengah resah oleh keberadaan PSK yang tidak terdaftar di lokalisasi mereka. Bukan saja mengurangi jatah pendapatan, keberadaan mereka juga dianggap marak menyebarkan virus penyakit.
Kepala Seksi Pimbanaan dan Kesenian Resos Argorejo Sunan Kuning Muhammad Taufiq mengatakan, keberadaan PSK freelance atau lepas tersebut sudah tak terkontrol. Sehingga seringkali membuat kecemburuan para PSK tetap di wilayahnya.
Baca Juga :
Kepala Seksi Pimbanaan dan Kesenian Resos Argorejo Sunan Kuning Muhammad Taufiq mengatakan, keberadaan PSK freelance atau lepas tersebut sudah tak terkontrol. Sehingga seringkali membuat kecemburuan para PSK tetap di wilayahnya.
"Seluruh PSK di wilayah kami tak setuju (keberadaan PSK freelance). Karena mereka menggunakan kesempatan hanya cari uang saja. Tapi tak peduli aturan seperti tes kesehatan dan HIV/Aids," kata Taufiq, Selasa 15 Desember 2015.
Ia mencatat keberadaan PSK Freelance ini jumlahnya hampir separuh dari jumlah total PSK yang menjadi penghuni Resos Sunan Kuning. Saat ini, jumlah penghuni resos di lokalisasi terbesar Semarang itu sudah mencapai 548 orang. Terdiri atas 158 mucikari operator dan PSK.
"Kami sendiri susah mengontrol. Karena adanya PSK Freelance ini jumlah PSK yang ada di sini akhirnya mencapai ribuan. Sementara pengurus resos hanya 15 orang dan tidak bisa mengawasi seluruhnya, " katanya.
Menurut Taufiq, latar belakang PSK freelance sendiri pun bervariatif. Ada yang memang murni para PSK yang datang untuk menjajakan dirinya. Ada juga mereka yang memang pernah tercatat sebagai PSK asli Sunan Kuning, tapi lebih memilih lepas dan memanfaatkan pelanggan tetap di lokalisasi tersebut.
"Mereka rata-rata berusia antara 18-27 tahun. Sulitnya pengawasan karena mereka datang ke sini (lokalisasi) bersama pelanggan (pria hidung belang)," jelasnya.
Kecemburuan PSK asli dengan PSK yang datang dan pergi ini dinilai banyak merugikan. Selain mengambil jatah pelanggan, PSK freelance juga tak terkena jatah pemotongan setiap kegiatan dan aturan di lokalisasi.
"PSK Freelance enggak pernah dipotong. Seperti tes kesehatan PSK yang harus bayar Rp20 ribu, denda tidak ikut senam dan olahraga Rp50 ribu serta membayar ke mucikari tiap kali praktek," katanya.
Selain itu, praktik para PSK freelance juga seringkali terlalu bebas dan menerjang undang-undang pornografi.
"Beberapa kali laporan, mereka juga kerap berani menari striptis dan tari telanjang yang melanggar undang-undang pornografi. Padahal PSK asli sini hal itu kami larang," katanya.
Karena itu secara bertahap pihaknya akan melakukan penegakan aturan dengan menggandeng lintas instansi. Hal itu agar lokalisasi Sunan Kuning yang juga menjadi tempat resosialisasi pengentasan PSK tidak menjadi tempat penyebaran penyakit.
"Kita akan intens mendata. Jadi tiap mucikari harus laporan bulanan soal ketaatan anak asuh dalam hal pembinaan, tes kesehatan dan kegiatan lain," ujarnya.