Busyro Usul Koruptor Dipermalukan dan Disuruh Bersihin Got
Selasa, 15 Desember 2015 - 00:40 WIB
Sumber :
- VIVAnews/ Muhamad Solihin
VIVA.co.id - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas, mengusulkan hukuman tambahan bagi para koruptor dengan hukuman sosial. Baginya, hukuman penjara belumlah cukup.
"Satu hukuman penjara, denda, ganti rugi, lalu ada hukuman tambahan dipermalukan seminggu sekali pakai seragam tahanan korupsi bersihin got-got itu," ujar Busyro dalam diskusi 'Quo Vadis KPK' di Kantor Muhammadiyah, Jakarta, Senin, 14 Desember 2015.
Selanjutnya, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan Pemuda Muhammadiyah mendorong untuk mencoba cara berbeda dalam menghukum koruptor. Misalnya, menolak menyolatkan jenazahnya ketika sudah meninggal.
"Reaksi ketika disampaikan antara hukuman mati dengan menolak menyolatkan jenazah koruptor, ternyata beberapa politisi lebih takut tidak disolatkan daripada hukuman mati. Persoalannya sekarang beberapa koruptor yang meninggal, yang menyolatkan justru ramai," ujar Dahnil pada kesempatan yang sama.
Ia menjelaskan terkait dengan opsi hukuman mati pada koruptor, ia justru tidak setuju. Sebab, kesengsaraan hukuman mati terlalu sebentar. Sehingga sebenarnya diperlukan adaptasi hukuman sosial bagi koruptor.
"Misalnya tiap pagi koruptor dihukum dengan menyapu jalan," kata Dahnil.
Ia mencontohkan lagi misalnya tiap hari koruptor dihukum untuk menjaga dan membersihkan toilet umum. Ia membayangkan kalau mantan gubernur bertugas melakukan ini. Menurutnya, hukuman sosial yang ia sebutkan di atas lebih menakutkan ketimbang hukuman mati atau diasingkan di hutan.
Baca Juga :
"Satu hukuman penjara, denda, ganti rugi, lalu ada hukuman tambahan dipermalukan seminggu sekali pakai seragam tahanan korupsi bersihin got-got itu," ujar Busyro dalam diskusi 'Quo Vadis KPK' di Kantor Muhammadiyah, Jakarta, Senin, 14 Desember 2015.
Selanjutnya, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan Pemuda Muhammadiyah mendorong untuk mencoba cara berbeda dalam menghukum koruptor. Misalnya, menolak menyolatkan jenazahnya ketika sudah meninggal.
"Reaksi ketika disampaikan antara hukuman mati dengan menolak menyolatkan jenazah koruptor, ternyata beberapa politisi lebih takut tidak disolatkan daripada hukuman mati. Persoalannya sekarang beberapa koruptor yang meninggal, yang menyolatkan justru ramai," ujar Dahnil pada kesempatan yang sama.
Ia menjelaskan terkait dengan opsi hukuman mati pada koruptor, ia justru tidak setuju. Sebab, kesengsaraan hukuman mati terlalu sebentar. Sehingga sebenarnya diperlukan adaptasi hukuman sosial bagi koruptor.
"Misalnya tiap pagi koruptor dihukum dengan menyapu jalan," kata Dahnil.
Ia mencontohkan lagi misalnya tiap hari koruptor dihukum untuk menjaga dan membersihkan toilet umum. Ia membayangkan kalau mantan gubernur bertugas melakukan ini. Menurutnya, hukuman sosial yang ia sebutkan di atas lebih menakutkan ketimbang hukuman mati atau diasingkan di hutan.