Selidiki Skandal Freeport, Kejaksaan Diminta Tak Kebablasan
- Syaefullah
VIVA.co.id - Mantan Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Kaspudin Noor, mengingatkan Kejaksaan Agung agar tidak kebablasan dalam memberikan informasi terkait dugaan rekaman 'pemufakatan jahat Freeport'. Apalagi status perkara ini masih tahap penyelidikan, bukan penyidikan.
"Penyelidikan itu jangan diekspos atau masih bersifat rahasia. Nanti yang bersangkutan bisa menghilangkan bukti-bukti," kata Kaspudin dalam keterangan persnya, Kamis, 10 Desember 2015.
Menurut dia, penyelidikan merupakan serangkaian kegiatan mengumpulkan alat bukti, yang kemudian dinilai apakah perbuatan itu ditemukan unsur pidananya berdasarkan alat bukti yang ada. Bila dua alat bukti terpenuhi maka kasus tersebut bisa diajukan ke tingkat penyidikan.
Adapun dalam proses penyelidikan, para saksi boleh keberatan untuk hadir memenuhi panggilan dan berhak untuk mangkir jika tim penyelidik melayangkan surat panggilan.
"Seharusnya kejaksaan jangan mengumbar seolah-olah kasus itu sudah ke tahap penyidikan. Jadi selidik itu serangkaian untuk mencari tahu. Perlu diketahui tidak ada upaya paksa di sini," ujar dia.
Kaspudin menerangkan, lazimnya proses penyelidikan di Kejaksaan ditangani oleh Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel), bukan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus). JAM Pidsus, lanjut dia, tugasnya adalah penyidikan.
Namun demikian, dia berharap Kejaksaan mengedepankan profesionalitas, integritas dan kemandirian dalam penanganan kasus ini.
"Artinya jangan ada unsur politik atau tekanan dari pihak tertentu yang bisa meruntuhkan wibawa Kejaksaan itu sendiri," paparnya.
Sulit Dibuktikan
Sementara itu, terkait kasus dugaan ‘pemufakatan jahat’ yang tengah diusut JAM Pidsus Kejaksaan Agung, Kaspudin menilai kasus tersebut cenderung pada upaya dugaan pencemaran nama baik ketimbang percobaan tindak pidana korupsi.
Sebab, dalam rekaman yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, yang dipersoalkan adalah pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Ini lebih kepada delik aduan. Sepanjang nama-nama yang dicatut tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang, berarti tidak ada pihak yang dirugikan," ujar Kaspudin.
Apalagi jika dalam penyelidikan kasus tersebut Kejaksaan menggunakan Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang justru sulit dibuktikan. Sebab, menurut Kaspudin, dalam perbincangan itu belum terjadi peristiwa pidananya.
"Dari obrolan itu kan dari masing-masing pihak tidak ada yang menanggapi. Kelanjutannya tidak ada," tegasnya.