MK Tolak Status Konflik Sosial di Daerah Ditetapkan Presiden

Sidang Mahkamah Konstitusi
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy
VIVA.co.id
- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan para pemohon yang menginginkan agar status keadaan darurat bahaya akibat konflik sosial untuk tingkat kabupaten/kota ditetapkan presiden. Sehingga dengan putusan ini, penetapan keadaan darurat bahaya untuk tingkat kabupaten/kota tetap bisa ditetapkan oleh bupati atau wali kota.

"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Wakil Ketua MK, Anwar Usman, saat memimpin sidang pembacaan putusan uji materi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial di Gedung MK, Jakarta, Senin 30 November 2015.

Dalam pertimbangan putusan, Hakim Konstitusi Suhartoyo menilai perlu dipahami perbedaan antara konflik sosial dengan keadaan bahaya. Menurut mahkamah, konflik secara sosiologis bisa diartikan sebagai proses sosial antara satu orang atau lebih yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara kekerasan.

"Konflik akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri," ujar Suhartoyo dalam kesempatan yang sama.

Ia menambahkan, konflik juga memiliki makna pertengkaran, pertikaian, dan perselisihan. Sementara itu, konsep mengenai konflik berbeda dari keadaan bahaya. Keadaan bahaya menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya menyebutkan indikator keadaan bahaya dengan keadaan darurat sipil, militer atau perang.

Menurutnya, keadaan darurat tersebut bisa terjadi kalau keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah terancam oleh pemberontakan, kerusuhan, atau bencana alam. Sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi dengan perlengkapan biasa. Lalu, indikator lainnya negara dalam keadaan bahaya perang dan dalam keadaan khusus yang dapat membahayakan kehidupan negara.

"Keadaan darurat memiliki spektrum yang lebih luas yaitu negara, sedangkan konflik memiliki dimensi yang lebih sempit yaitu kondisi yang terjadi di daerah tertentu," ujar Suhartoyo.

Selanjutnya, UU Penanganan Konflik Sosial ini membatasi aturan hanya pada keadaan darurat sipil. Sehingga tidak diasumsikan kondisi konflik sosial berubah menjadi darurat perang atau militer. Adapun pemberian kewenangan dari pemerintah pusat pada bupati atau wali kota dalam menentukan status konflik di daerahnya, terlebih dulu meminta pertimbangan DPRD.

"Mengingat bahwa pemerintah daerah lah yang lebih tahu kondisi riil di daerahnya dibandingkan dengan presiden. Sehingga mempermudah penyelesaian karena memperpendek rentang kendali antara pemerintah dengan pemerintah daerah dalam hal penanganan konflik sosial," ujar Suhartoyo.

Sebelumnya, Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Keadilan (Imparsial), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Wakil Direktur Human Rights Working Group, dan sejumlah pemohon lainnya mengajukan uji materi Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial.

Pasal 16 tersebut mengatur status konflik skala kabupaten/kota ditetapkan bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD. Lalu Pasal 26 mengatur soal apa saja yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam status konflik.

Pada intinya, para pemohon ingin agar keadaan darurat bahaya dalam skala kabupaten/kota ditetapkan oleh presiden dan bukan oleh wali kota atau bupati. Mereka menilai pasal-pasal yang digugat kebablasan dalam pendelegasian kewenangan pemerintah pusat pada daerah.