Naik 200 Kali, Ganti Rugi Korban Salah Tangkap Belum Adil

Menkumham Yasonna H Laoly
Sumber :
  • ANTARA/Sigid Kurniawan

VIVA.co.id - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan ada perubahan mengenai besaran ganti rugi dalam PP 27 tahun 1983 mengenai pelaksanaan KUHAP. Dalam aturan tersebut, ganti rugi korban salah tangkap diganti Rp500 ribu hingga Rp100 juta. Sebelumnya Rp5 ribu-Rp1 juta.

Sementara jika korban mengalami luka atau cacat maka diganti Rp25 juta-Rp100 juta. Sebelumnya hanya Rp5 ribu-Rp3 juta. Bila korban meninggal dunia, maka diganti Rp50juta-Rp600 juta. Sebelumnya Rp5 ribu-Rp3 Juta.

Namun, aturan ini apakah dapat memenuhi rasa keadilan dalam bagi
korban?

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang kerap mendampingi korban salah tangkap yang mengalami serangkaian penyiksaan selama menjalani proses peradilan dan hak asasinya direnggut secara sewenang-wenang atas perbuatan yang tidak dilakukan. Menilai kalau aturan ini belum dapat memenuhi rasa keadilan korban.

Dari catatan ada 16 korban salah tangkap yang telah terpublikasi media. Seperti kasus salah tangkap terhadap sejarawan JJ. Rizal di Depok, kasus penangkapan pengamen Cipulir, penangkapan empat anak pengamen yang juga di Cipulir, penangkapan Koko.

Kemudian seorang tukang ojek, Hasan Basri, tukan ojek bernama Dedi, Yana, kemudian Drs. Djati Hutomo, Marwan Bin Takat, Maya Agung Dewandaru, Nanik Sumarni, seorang janda pahlawan, tiga nelayan Ujung Kulon, Aguswandi Tanjung dan Ismail.

Menurut LBH Jakarta, dari 16 kasus peradilan sesat atau salah tangkap tersebut hingga saat ini belum ada yang mendapatkan ganti rugi. Bahkan PP 27 Tahun 1983 ini tidak efektif memulihkan korban salah tangkap.

Kemudian LBH Jakarta pernah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum secara perdata dalam kasus Koko dengan pertimbangan ganti rugi akan diberikan secara maksimal mencakup kerugian materil maupun immateril.

Tapi akhirnya langkah tersebut kandas sebab pengadilan belum menerima langkah progresif yang mencoba mendobrak lemahnya PP 27/1983 tersebut.

Sesungguhnya, permasalahan yang timbul dalam PP 27/1983 ini bukan hanya terkait besaran ganti rugi saja, tetapi ada juga beberapa permasalahan yang kerap terjadi dan menjadi sorotan LBH Jakarta yaitu: pertama PP No.27 Tahun 1983 membatasi hak untuk menuntut ganti rugi hanya 3 bulan semenjak putusan inkracht.

Seharusnya ketentuan ini dihilangkan, sebab pada hakikatnya ganti rugi tersebut adalah hak yang timbul akibat salah tangkap, maka dari itu seharusnya hak tersebut tidak dibatasi dalam waktu 3 bulan, praktiknya korban tidak tahu terkait hal ini.

Selain itu korban kebanyakan tidak bisa juga mengakses pengacara, namun setelah lewat 3 bulan, permintaan ditolak, kedua PP ini hanya diberikan bagi mereka yang berstatus tersangka, terdakwa dan terpidana. Padahal banyak sekali korban salah tangkap polisi terjadi pada saat korban masih berstatus saksi dan tidak dijadikan tersangka.

Seperti dalam kasus JJ. Rizal, Yana dan Nurdin, mengenai besaran ganti rugi bagi korban yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini. Keempat mengenai berbelit-belitnya proses pencairan dana ganti rugi. Berdasarkan hal yang telah disampaikan di atas maka LBH Jakarta menilai perubahan PP 27/1983 yang dilakukan oleh Kementrian Hukum dan HAM berpotensi belum dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul selama ini dan tidak dapat memenuhi rasa keadilan korban.

Kementerian hanya fokus pada besaran ganti rugi saja, dan menurut LBH Jakarta, jumlah itu juga dianggap belum maksimal bagi korban. Sebeb, kementrian memberikan patokan awal yang rendah yaitu Rp500 ribu dan juga langsung mematok nilai maksimal sehingga tidak ada ruang bagi hakim yang menilai perkara dan menggunakan hati nurani untuk memberikan lebih dari nilai maksimal tersebut.

Sebagai perbandingan di luar negeri seperti, mahasiswa Universitas California Daniel Chong mendapatkan 42 miliar, kemudian warga Connecticut Kenneth Ireland mendapat USD6 juta, David Ayers warga Amerika mendapatkan USD13,2 juta, narapidana di Ohio mendapat US$ 1 juta.

Berdasarkan hal ini, LBH Jakarta merekomendasikan agar Presiden Jokowi berserta jajarannya segera mengakomodir semua permasalahan terkait ganti rugi salah tangkap sebelum menandantangani. Ini demi terwujudnya keadilan bagi korban. (ren)