IPT: Terjadi Kejahatan Kemanusiaan pada 1 Oktober 1965
- Koleksi IPT 1965 Foundation
VIVA.co.id - Majelis Hakim International People's Tribunal (IPT) atau Pengadilan Rakyat terkait "kasus 1965" menyatakan, telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan pada 1 Oktober 1965 dan sesudahnya.
Selain itu, dari bukti-bukti yang dipaparkan dan dipresentasikan di pengadilan yang digelar di Den Haag, Belanda ini, Majelis Hakim juga mensinyalir, ada kemungkinan terjadi kejahatan berat lainnya yang terjadi setelah 1965.
“Keputusan finalnya akan dibacakan di Jenewa pada 11 Maret yang akan datang.” ujar Koordinator Umum IPT kasus 1965, Nursyahbani Katjasungkana kepada VIVA.co.id, Jumat, 20 November 2015.
Nursyahbani mengatakan, setelah vonis yang rencananya dibacakan di Jenewa, pihaknya akan menggelar sejumlah kegiatan. Salah satunya akan melakukan advokasi internasional, khususnya terkait lembaga Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal itu dilakukan guna meningkatkan perhatian internasional terhadap hasil putusan Majelis Hakim IPT.
Selain itu, mereka akan melakukan advokasi di Indonesia guna menstimulasi perkembangan proses politik, hukum, dan sosial budaya agar kejahatan HAM serupa tidak terulang. Mereka juga akan melakukan kampanye melalui media untuk menyosialisasikan putusan final IPT.
"Itu dilakukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi para korban dan keluarganya, agar dapat direhabilitasi, dipulihkan martabatnya, dan mendapatkan reparasi, yang bertujuan menciptakan iklim kondusif bagi proses rekonsiliasi," dia menambahkan.
Ia menuturkan, sesuai rekomendasi Komnas HAM, kasus ’65 harus diselesaikan dengan judisial dan non-judisial. “Artinya, jika masih ditemukan pelaku dengan bukti yang cukup, harus tetap dilakukan penyelesaian judisial, membawa pelaku ke pengadilan,” ujarnya.
Menurut dia, rekonsiliasi merupakan penyelesaian non-judisial yang sangat penting untuk dilakukan. Namun, rekonsiliasi harus didasarkan pada pengungkapan kebenaran. “Jika tidak, apa yang akan direkonsiliasikan," ujarnya.
Ia mendesak, Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara, sebaiknya meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM masa lalu, khususnya korban kejahatan 1965 dan sesudahnya. Karena, hal itu merupakan langkah awal untuk rekonsiliasi dan mengakhiri kontroversi.
“Dalam putusan Majelis Hakim IPT 1965, masalah ini juga sangat ditekankan.”
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan, membantah, pemerintah "kebakaran jenggot" dengan penyelenggaraan IPT. Ia mengklaim, pihaknya sedang bekerja sama dengan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus ‘65.
“Kami sudah punya beberapa clue untuk selesaikan. Tidak ada masalah soal itu. Kami akan selesaikan,” ujarnya berjanji, Kamis, 19 November 2015.
Sementara itu, Kepala Staf Presiden, Teten Masduki, mengatakan, hasil IPT tidak mengikat. Karena, pengadilan itu tidak dilakukan di bawah PBB. Selain itu, pengadilan tersebut tidak dilakukan di bawah Pemerintah Belanda.
“Itu inisiatif aktivis HAM. Mereka kan hanya membuat rekomendasi.”
Selengkapnya, baca Sorot