KAMMI Minta Pemerintah Tak Lanjutkan Kontrak Karya Freeport
Minggu, 22 November 2015 - 18:33 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id / Renne Kawilarang
VIVA.co.id - Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kartika Nur Rakhman, menyatakan sikap pada pemerintah. KAMMI meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan kontrak karya dengan PT Freeport yang berakhir pada 2021. Sebabnya sudah jelas, Indonesia mengalami banyak kerugian dari kontrak tersebut.
"Kritik utama atas kontrak karya Freeport adalah kecilnya royalti yang diterima Indonesia," ujar Kartika dalam diskusi Menggali Freeport di Antara Kepentingan Asing dan Kedaulatan Indonesia di Jakarta, Minggu 22 November 2015.
Ia menjelaskan untuk tembaga saja, royalti bagi Indonesia hanya 1,5 persen dari harga jual dan 1 persen untuk emas dan perak. Sehingga jika dihitung dari kontrak karya ke dua pada tahun 1992, kontribusi atau royalti Freeport hanya mencapai US$10,4 miliar.
"Angka di atas terlihat besar, tapi sebenarnya jumlah ini kecil," ujar Kartika.
Lalu kontrak karya ini juga dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang dalam konsesi Freeport terdapat Hak Tanah Adat. Selanjutnya, ada permasalahan lingkungan akibat operasi Freeport yaitu munculnya limbah tailing yang mencemari sekitar 110km2 di wilayah estuari (wilayah pertemuan air laut dan air tawar). Lalu sepanjang 20 hingga 40 km Sungai Ajkwa juga tercemar limbah beracun.
Atas dasar pertimbangan di atas, ia berpendapat aset PT Freeport harus dinasionalisasi dengan menyerahkannya pada BUMN yang kompeten. Lalu ia juga meminta agar Freeport memenuhi kewajibannya sesuai Undang-Undang Minerba, melakukan divestasi, menghentikan perusakan lingkungan dan merehabilitasi kerusakan di wilayah tambang.
"Kritik utama atas kontrak karya Freeport adalah kecilnya royalti yang diterima Indonesia," ujar Kartika dalam diskusi Menggali Freeport di Antara Kepentingan Asing dan Kedaulatan Indonesia di Jakarta, Minggu 22 November 2015.
Ia menjelaskan untuk tembaga saja, royalti bagi Indonesia hanya 1,5 persen dari harga jual dan 1 persen untuk emas dan perak. Sehingga jika dihitung dari kontrak karya ke dua pada tahun 1992, kontribusi atau royalti Freeport hanya mencapai US$10,4 miliar.
"Angka di atas terlihat besar, tapi sebenarnya jumlah ini kecil," ujar Kartika.
Lalu kontrak karya ini juga dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang dalam konsesi Freeport terdapat Hak Tanah Adat. Selanjutnya, ada permasalahan lingkungan akibat operasi Freeport yaitu munculnya limbah tailing yang mencemari sekitar 110km2 di wilayah estuari (wilayah pertemuan air laut dan air tawar). Lalu sepanjang 20 hingga 40 km Sungai Ajkwa juga tercemar limbah beracun.
Atas dasar pertimbangan di atas, ia berpendapat aset PT Freeport harus dinasionalisasi dengan menyerahkannya pada BUMN yang kompeten. Lalu ia juga meminta agar Freeport memenuhi kewajibannya sesuai Undang-Undang Minerba, melakukan divestasi, menghentikan perusakan lingkungan dan merehabilitasi kerusakan di wilayah tambang.