Menimbang Tepat Tidaknya Surat Edaran Ujaran Kebencian
- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA.co.id - Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti telah mengeluarkan Surat Edaran Ujaran Kebencian (SE) Nomor SE/6/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech), dan sudah diteken pada 8 Oktober 2015. Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar mengatakan, akan banyak penafsiran dalam surata edaran ujaran kebencian tersebut.
"Banyak problem di dalam implementasi, karena semestinya surat edaran ini sudah sangat teknis, tetapi dengan model seperti itu malah menimbulkan banyak penafsiran di dalam pelaksanaannya," ujar Wahyudi, Kamis, 5 November 2015.
"Dari pantauan kami, pasal pidana hate speech itu kebanyakan dari kelompok minoritas, jadi berkaca dari kasus yang kemarin di Yogyakarta, kasus di Sumatera Barat, dan di Ciamis dan kasus lainnya itu, memerlihatkan pasal hate speech melaporkan kaum minoritas, kemudian mereka dipidanakan dengan pasal hate speech," jelasnya.
Selain itu, surat edaran ini pertama ingin merespons soal pernah adanya proses hukum, terhadap kelompok-kelompok yang sering kali memprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan atau provokasi.
"Itu kan banyak yang mengajak untuk menyerang, tetapi kemudian kalau dilihat sekarang, ada beberapa persolan yang kemudian bermasalah dalam implementasinya," ungkapnya.
Wahyudi mencontohkan, di dalam surat edaran ini mencantumkan klausul penghinaan dan pencemaran nama baik. Klausul itu, kata Wahyudi, sering kali bersifat karet dalam pelaksanaannya.
"Jadi mudah sekali digunakan untuk melaporkan pidana orang tertentu yang dianggap tidak menyenangkan bagi seseorang yang lain," katanya.
Katup pengamanan dalam surat edaran tersebut kurang memadai untuk orang tidak menggunakan secara represif masuknya pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, belum lagi kemudian di dalam surat edaran tersebut dicantumkan klausal pasal 310 dan 311 (pasal pidana penghinaan dan pencemaran nama baik), katanya.
Wahyudi menilai adanya edaran kebencian ini efeknya akan terlihat. Hal itu dilihat banyaknya muncul laporan yang tidak masuk dalam kategori hate speech.
"Kemudian karena ada surat edaran tersebut dilaporkan dan kemudian mendapat respon dari kepolisian karena ketika ada surat edaran itu kan orang mengganggap itu sebagai prioritas kepolisian, polisi juga sama berpikir wah ini prioritas kami," tuturnya.
Kurang tanggapnya kepolisian
Permasalahan mengenai pelaksanaan pasal pidana hate speech, karena pihak kepolisian yang kurang tanggap perihal masalah ujaran kebencian tersebut.
"Jadi selama ini banyak problem dalam pelaksanaan pasal pidana hate speech itu, saya contohkan gini, dulu ada pemblokiran 21 laman yang dianggap memprovokasi oleh Kemkominfo, dia bisa dikenakan pasal pidana karena dianggap menyebar kebencian, tapi kepolisian kurang tanggap perihal itu," terangnya.
Untuk itu, untuk orang-orang atau pidato-pidato ormas tertentu yang mengajak pihak lain atau kelompok untuk menyerang kelompok atau pihak lain seharusnya ditindak.
"Nah surat edaran ini mestinya untuk merespons itu, memang kalau dari surat edaran diarahkan ke situ, tetapi ada perluasan, itu yang kemudian saya katakan katup pengamannya kurang pas, jadi sebetulnya surat edaran itu tidak membutuhkan petunjuk lagi, dia tidak menimbulkan tafsiran-tafsiran yang lain, dia sudah sangat teknis," kata Wahyudi.
Dikhawatirkan, pidana ujaran kebencian ini hanya menjerat kaum minoritas. Akan tetapi saat berhadapan dengan kaum mayoritas, ujaran ini tidak bergigi.
"Keluarnya surat edaran tersebut kan harapannya ingin menjawab permasalahan supaya tidak lagi kemudian pidana hate speech itu hanya menjerat kelompok-kelompok minoritas, tetapi dia tidak bergigi ketika berhadapan dengan kelompok mayoritas yang sering kali menyebarkan provokasi, kekerasan dan lainnya," ucapnya.
Jika tidak diterapkan dengan baik, surat edaran ujaran kebencian juga dikhawatirkan akan menciptakan efek ketakutan baru. "Jadi akan menimbulkan efek ketakutan baru, orang jadi mikir, saya mau posting meme atau tulisan kira-kira kena pasal hate speech tidak ya, itu yang dinamakan killing effect, dia menciptakan efek ketakutan kepada orang untuk berekspresi dan berpendapat," katanya.
Sosialisasi
Wahyudi menerangkan, sosialisasi mengenai ujaran kebencian ini seharusnya dilakukan di internal kepolisian. Sebab pihak kepolisian yang akan menjalankan surat edaran tersebut.
"Jangan sampai kemudian kepolisian memperluas cangkupan pidana hate speech, jadi polisi harus declare bahwa sepanjang itu tidak ditunjukan untuk menyerang dan mengintimidasi serta mendiskriminasi kelompok tertentu berdasarkan agama, ras, suku dan lainnya dan bisa berakibat kekerasan dan konflik sosial itu tidak dijerat dengan hate speech," terangnya.
Menurutnya, ada dua pendekatan berbeda antara pidana hate speech dan pidana pencemaran nama baik dan penghinaan. Lanjutnya, Penghinaan dan pencemaran nama baik untuk melindung seseorang, orang per orang, tetapi kalau hate speech untuk melindungi kelompok-kelompok tertentu, seperti agama, ras atau kelompok suku dan lain sebagainya.
"Ketika ada meme yang tidak menyerang kelompok tertentu atau agama serta ras tertentu masuk dalam pidana hate speech tidak, tapi kalau meme dengan ajakan 'ayoo serang ini, ayo serang kelompok ini'. itu sudah hate speech. itu yang selama ini malah tidak mendapatkan respon penanganan dari kepolisian," lanjutnya.
Beda Hate Speech dan Kritik
Selain itu, ia juga menyoroti perbedaan antara hate speech dengan kritik. Menurutnya, hate speech itu tindakan menyerang, mengintimidasi, diskriminasi yang mengakibatkan kekerasan atau konflik sosial.
"Sementara kritik itu kan ditujukan kepada penyelanggara pemerintahan atau penyelenggara layanan, itu jelas, ketika ditunjukan kepada pemerintah yang berkuasa, Presiden, Menteri, dan pejabat publik itu meski dimaknai sebagai kritik dan harus dilindungi," tuturnya.
Wahyudi meminta, jika memang diterapkan ujaran kebencian, jadikan edaran ini sebagai pembelajaran dan pemahaman. Hal itu dikarenakan masyarakat tidak mengetahui ketentuan dan sampai mana batas surat edaran tersebut.
"Masyarakat memunyai akses yang luas di media sosial, Internet bisa diakses di manapun, jadi jangan orang pasang meme apa langsung dilaporin dan dipidanakan. Padahal sebenarnya mungkin dia tidak tahu dengan menggunakan media sosial dan mendapatkan akses yang luas untuk menyebarkan dari tempat satu ke tempat yang lain, dari orang ke orang yang lain. ini kan butuh pembelajaran dan pemahaman yang luas," jelasnya.
Namun, Wahyudi mengaku jika memang ujaran kebencian ini diterapkan untuk hal pengasutan kepada kelompok tertentu untuk menyerang kelompok tertentu, maka ujaran kebencian ini diperlukan.
"Kalau dalam hal pengasutan kepada kelompok tertentu untuk menyerang kelompok lain yang mengakibatkan kepada kekerasan sehingga matinya seseorang atau matinya satu kelompok. Nah itu memang perlu diatur soal hate speech termasuk pidana hate speech, tetapi harus hat- hati dalam implementasinya, jangan kemudian sembarangan seperti sebelumnya seperti kasus Florence di Jogja, dia posting di media sosial trus kena pidana hate speech," tutupnya.