Misteri Kutukan 'Jomblo' di Candi Dadi Tulungagung
Kamis, 5 November 2015 - 07:45 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Dody Handoko
VIVA.co.id
- Candi Dadi di Tulungagung merupakan peninggalan kerajaan Majapahit sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV. Candi ini disebut-sebut dibangun rakyat Majapahit yang beragama Hindu-Budha yang mengasingkan diri dari kerajaan. Candi ini terletak Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul, kecamatan Boyolangu.
Sepanjang perjalanan menuju candi-candi ini masih dapat ditemukan sisa bangunan kuno yakni candi urung, candi buto dan candi gemali. Sayangnya candi-candi tersebut sudah tidak terlihat lagi bentuknya, kecuali gundukan batuan andesit yang jumlahnya sangat minim yang menandai keberadaannya zaman dahulu.
Candi ini merupakan candi tunggal yang tidak memiliki tangga masuk hiasan maupun arca. Denah Candi berbentuk bujur sangkar dengan ukuran panjang 14 meter lebar 14 meter dan tinggai 6.50 meter.
Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampilan setiap sisinya.
Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungsi sebagai sumuran.
Diameter sumuran adalah 3.35 meter dengan kedalaman 3 meter. Dulunya di sumuran yang terletak di atas candi ini bisa ditemukan abu. Uniknya, sumuran itu, ketika hujan turun sederas apapun, di dalam sumuran tidak pernah menggenang air. Air yang turun langsung meresap ke dalam.
Menurut Triyono, peneliti sejarah Tulungagung, kata Dadi adalah dari bahasa jawa yang artinya jadi. “Nama candi Dadi sendiri dilatarbelakangi dari bentuk candinya yang paling sempurna diantara candi lainnya,” jelasnya.
Konon, cerita dari masyarakat tentang asal mula candi tersebut, yaitu bermula ketika salah seorang pangeran melamar seorang putri dusun Kedungjalin. Lalu putri tersebut mau menerima lamaran dengan syarat dibuatkan empat candi dalam satu malam.
Baca Juga :
Pangeran pun menyetujui persyaratan tersebut dan dimulailah pembuatannya. Maka ketika keempat candi hampir jadi, dan waktu masih cukup, maka putri yang sejatinya ingin menolak lamaran pangeran tersebut mencari akal untuk menggagalkan pembuatan candi yaitu dengan menyuruh beberapa ibu desa membunyikan suara lesung.
Maka candi yang keempat pun belum selesai dibuat karena pangeran mengira waktu sudah pagi. Candi yang keempat ini selanjutnya oleh masyarakat dinamakan candi Urung, karena bentuknya yang tidak sempurna.
Kata “Urung” sendiri berasal dari bahasa jawa yang artinya Belum. Setelah pangeran tahu tipu muslihat itu, maka ia marah dan mengutuk para perempuan di desa itu, mereka tidak akan mendapatkan jodoh melainkan setelah usianya menginjak tua.
Entah terkait atau tidak bahwa sampai sekarang, mayoritas perempuan dusun Kedungjalin bisa mendapatkan jodohnya di usia mulai tua.
Sedang penamaan candi Buto, karena menurut masyarakat, dulu di atas candi tersebut terdapat sebuah arca besar yang sekarang tidak kelihatan.
Sedangkan nama candi Gemali atau Lingga Gemali sendiri karena di sana terdapat lingga yang mempunyai makna kesuburan lelaki. Hal itu memungkinkan karena perempuan-perempuan dusun Kedungjalin menikah di usia tua.
Candi ini dibangun sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV. Saat berakhirnya kekuasaan Hayam Wuruk merupakan masa suram bagi kehidupan agama Hindu Budha kala itu.
Pertikaian politik dilingkungan kerajaan menimbulkan kekacauan. Dalam kondisi demikian, penganut Hindu Budha melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan yang dimilikinya.