Sejarawan: Bela Negara Lebih Baik Mengarah ke Pembangunan

Upacara Penutupan Pendidikan Bela Negara
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, menilai pemerintah saat ini kebingungan mengenai konsep bela negara, apakah sama dengan wajib militer seperti di negara-negara Eropa, atau ada konsep yang lain.

"Bela negara ini sebenarnya masih bingung konsepnya. Ini militer tapi menyangkal? Mereka sebetulnya malu-malu. Ini sebetulnya konsepnya wajib militer, tapi wajib militer itu mendapat tanggapan negatif," jelas Asvi dalam diskusi Forum Senator bertajuk 'Pemuda dan Bela Negara', di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu 1 November 2015.

Asvi melihat, pemerintah bingung, karena konsep menciptakan ala bala tentara mendapat tanggapan negatif. Selain itu, apakah bisa disamakan dengan negara-negara Eropa. Sebab, wajib militer di sana karena penduduk yang sedikit, sementara tentara juga terbatas.

Kata Asvi, kalau untuk pertahanan, lebih baik menambah pasukan TNI atau Polri, tanpa harus bela negara dengan metode wajib militer. Menurut Asvi, bela negara ala militer sudah pernah dilakukan di Indonesia, yakni saat Trikora, perebutan Irian Barat.

"Dulu ada, ketika negara sangat memerlukan seperti sukarelawan dan sukarelawati. Waktu untuk Trikora Irian Barat. Dibuka pendafatarannya, ada yang mendaftar dan ada pelatihannya," jelas Asvi.

Begitu juga saat hubungan memanas dengan Malaysia, yang melahirkan keinginan Presiden Soekarno untuk mengganyang Malaysia.

"Sesudah itu tidak ada lagi ancaman fisik. Kecuali konflik Ligitan, Sipadan, Ambalat. Tapi itu bukan konflik yang mengarah peperangan," jelasnya.

Menurut dia, yang harus dilakukan saat ini adalah peran serta dalam pembangunan. Program pemerintah melalui dana desa, menurut Asvi, bisa dipadukan dengan bentuk nyata bela negara itu.

"Mungkin lebih tepat KKN (kuliah kerja nyata) itu dihidupkan lagi. Menurut saya, lebih penting untuk menanamkan cinta tanah air. Itu relevan sekarang, dengan kondisi ketika pemerintah memperhatikan desa, dan dana diarahkan ke desa, sudah ada mahasiswa yang KKN itu," katanya.

Konsep-konsep penataran, dengan membangun kesadaran generasi, juga perlu dikedepankan. Agar mereka paham, apa yang menjadi ancaman bagi Indonesia saat ini dan ke depannya.

"Bung Karno sendiri mengatakan, penjajahan sebelum 1945 itu penjajahan fisik, setelah itu penjajahan tidak langsung, terutama penjajahan ekonomi. Penjajahnya bisa saja di luar negeri," jelasnya.

Menurut dia, ini yang perlu disadarkan. Sebab, saat ini Indonesia memang sedang dijajah dalam bentuk non-fisik, tanpa disadari.

"Ya seharusnya seperti itu, melawan penjajajahan asing. Tapi penjajahan asing itu tidak berbentuk fisik, tapi lebih bersifat ekonomi, teknologi. Harusnya kita bersiap untuk menghadapi itu," ungkap Asvi. (ren)