Kisah Menegangkan Bung Karno Melukis di Sarang DI/TII

Bung Karno berpose di depan lukisannya
Sumber :
  • Dok. Ist
VIVA.co.id - Bung Karno bisa dikatakan sebagai Presiden yang bisa melukis. Dalam suatu kesempatan bergaul dengan kalangan seniman lukis, Bung Karno pernah mengatakan, kalau saja ia tidak menjadi Presiden, tentulah ia sudah memilih pelukis sebagai profesinya.

Tak bisa disangkal, lukisan-lukisan Bung Karno benar-benar apik, bercorak dekoratif dan lebih dari itu, berdaya magis bagi siapa saja yang melihatnya. Kegemaran melukis masih dilakoni setidaknya sampai tahun 50-an. Tak jarang, seperti kebanyakan pelukis pada umumnya, ia juga menyempatkan diri berburu lokasi, mencari objek yang bagus untuk dituang ke atas kanvas.

Dalam buku Total Bung Karno karya Roso Daras diceritakan, suatu ketika, di tahun 1950-an, Bung Karno mengajak pelukis Istana, Dullah untuk hunting lokasi ke tatar Priangan, Jawa Barat. Ia mencari objek yang pas di hatinya untuk dilukis, hingga tibalah di satu lokasi yang memang sangat indah. Bung Karno memerintahkan rombongan kecil berhenti.

"Keindahan pemandangan Indonesia memang luar biasa. Kalau aku melihat pohon-pohon menghijau, bila kupandang lembah dan ngarai, bila kudengar kicau burung, bila kurasa desir angin maka semakn besar rasa cintaku kepada Indonesia," ujarnya seraya turun dari mobil.


Ya, Bung Karno memilih lokasi itu. Ia pun menyiapkan kanvas, cat, kuas, dan sedia mulai melukis. Akan tetapi, para pengawalnya justru sangat gusar, resah, gundah. Betapa tidak, lokasi yang dipilih Bung Karno adalah kekuasaan pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwirjo.


Kartosuwirjo tak lain adalah sahabat Bung Karno, satu perguruan di Surabaya, sebagai sesama murid H.O.S. Cokroaminoto. Selain Kartosuwirjo, teman Bung Karno yang “mengguru” di Cokroaminoto antara lain Alimin dan Muso. Nah ini yang unik. Kartosuwirjo menjelma menjadi aliran kanan garis keras, sebaliknya Alimin dan Muso aliran kiri (komunis) yang tak kalah fanatiknya. Sementara Bung Karno ada di tengah, sebagai seorang nasionalis tulen, bahkan ultra-nasionalis.


Di kemudian hari, pasca kemerdekaan, Kartosuwirjo memberontak melawan pemerintahan Sukarno dengan membentuk laskar Islam bermarkas di Priangan. Sementara Alimin dan Muso terlibat dalam pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Sejarah kemudian mencatat, kedua pemberontakan itu berhasil ditumpas.


Bung Karno asyik membuat sketsa lukisan pemandangan di bumi Priangan, sementara para pengawal resah mengingat daerah itu merupakan basis pemberontak. Sejurus kemudian, seorang pengawal menggamit lengan Dullah dan menariknya pelan ke belakang.


Si pengawal tadi membisik di telinga Dullah, “Mas, mohon diperingatkan kepada Presiden bahwa daerah ini rawan, berbahaya. Ini daerah Kartosuwirjo.”


“Benarkah?” Dullah balik bertanya. Terperanjat juga dia.


“Benar mas, baru saja satu rombongan lewat tak jauh dari tempat ini. Mereka tentu sedang melapor ke markas DI/TII. Kalau sampai terjadi clash fisik, saya khawatir keselamatan Bapak,” jawab pengawal itu.


Dullah ragu. Ia tampaknya tak berani mengusik Bung Karno yang baru saja mulai melukis. “Karena ini menyangkut urusan keamanan maka katakanlah sendiri.”


“Tolonglah mas… Bapak sedang sibuk menggambar. Kalau diganggu bisa-bisa saya kena semprot.”


“Tapi kan ini tugas, demi keselamatan Kepala Negara,” jawab Dullah.


Si pengawal pun mengalah. Dengan langkah ragu ia mendekat ke arah Bung Karno. Sementara pengawal yang lain makin meningkatkan kewaspadaan di sekitar lokasi.  Maklumlah, situasi di daerah kekuasaan Kartosuwirjo memang gawat.


Begitulah. Si pengawal tinggal beberapa jengkal lagi sampai di tempat Bung Karno duduk melukis. Langkahnya pelan, mendekat, dan lebih dekat lagi. Dipandang dari jarak 10 meter, suara pengawal yang sedang memperingatkan presidennya, sungguh tak terdengar.


Ia menyampaikan kepada Bung Karno tentang bahayanya lokasi tersebut, dan adanya laporan baru saja kelompok DI/TII melintas tak jauh dari lokasi Bung Karno melukis. Karena itu, pengawal menyarankan agar Presiden segera meninggalkan lokasi.


Bung Karno tetap asyik melukis. Sedikit pun tidak ada perubahan ekspresi di wajah. Benar-benar sedang penuh konsentrasi, sehingga peringatan pengawal sama sekali tak digubris. Demi melihat Bung Karno bergeming, tak bergerak barang semili, tak menanggapi barang satu kata, si pengawal mundur teratur. Di belakang, ia segera berkoordinasi dengan para pengawal lain.


Tak bisa disembunyikan kepanikan mereka, jika sewaktu-waktu menghadapi serangan mendadak pasukan DI/TII yang berjumlah puluhan atau bahkan ratusan prajurit dengan doktrin siap mati sahid. Tapi sebagai pengawal, mereka harus siap mati melindungi Presidennya.


Dullah sang pelukis Istana, gentar juga hatinya. Ia segera menghampiri Bung Karno. Taktis ia membuka kata, “Maaf Pak, matahari sudah agak tinggi.”


“Maksudmu?” Bung Karno menanggapi, tanpa menoleh.


“Efek cahaya sudah tidak seperti yang kita kehendaki lagi. Coba kalau sinar matahari masih agak rendah, cahayanya akan menerobos pepohonan, menyusup rimbun dedaunan, dan akan menimbulkan suasana lain dari yang sekarang kita lihat. Saat ini matahari sudah tinggi, sehingga efek cahaya di dalam hutan itu tidak seindah terobosan sinar matahari pagi.” jelasnya


Bung Karno langsung menghentikan sapuan kuasnya. Ia menatap objek yang sedang dilukis. Kemudian menatap Dullah.  “Benar juga, Dullah. Baiklah, kita kembali ke sini besok lebih pagi, untuk melihat apa yang kau katakan itu,” kata Bung Karno sambil mengemasi peralatan melukisnya.


Setelah menyeka sisa cat yang melekat di tangan, Bung Karno beranjak dari tempat itu, kembali ke Jakarta.