Jokowi Pro Reformasi Hukum atau Oligarki Kekuasaan?

Presiden Jokowi di Kantor Kepresidenan, Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA/Yudhi Mahatma

VIVA.co.id - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, menyatakan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan menggunakan alasan fokus ke bidang ekonomi untuk menunda revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

"Padahal untuk fokus ke bidang ekonomi juga butuh kepastian hukum," ujar Ikrar dalam diskusi 'Setahun Pemerintahan Jokowi dan Masa Depan KPK', di Jakarta, Kamis, 29 Oktober 2015.

Dalam konteks revisi UU KPK, ia mewanti-wanti agar jangan sampai eksistensi KPK ada hanya sebagai simbol.

Menurutnya, Jokowi harus ditanyakan termasuk yang pro pada reformasi hukum atau oligarki kekuasaan. Sebab menurutnya, percuma saja kalau revisi UU KPK hanya ditunda. Sehingga harus tegas untuk tidak menunda tapi meniadakannya.

Ia menjelaskan persoalan reformasi di bidang hukum memang dianggap sudah berakhir sejak 2004. Reformasi paling 'panas' berada di antara tahun 1998 hingga 2004.

Hal itu terbukti dengan adanya UU TNI dan UU Polri. Paska 2004, panasnya aura reformasi hukum menjadi mendingin. Sehingga menurut Ikrar, momen ini menjadi momen serangan balik para koruptor.

Senada dengan Ikrar, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, mengatakan kecenderungan pemerintahan Jokowi lebih mengedepankan persoalan ekonomi terlihat dari paket kebijakan anti kriminalisasi pembangunan untuk penyerapan anggaran.

"Jangan sampai ini justru melindungi pelaku korupsi, jadi sekedar maladministrasi. Aturan hukum kok jadi melindungi koruptor yang tak tersentuh," ujar Lola pada kesempatan yang sama. (ase)