Legenda Bayi yang Dibuang di Laut
VIVA.co.id - Makam Dewi Sekardadu hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada yang menyebut di Desa Ketingan Sidoarjo, namun ada juga yang mengatakan makamnya ada di Desa Gununganyar, Kebomas, Gresik, Jatim.
Konon, asal nama Desa Ketingan yang berada di areal pertambakan dekat laut itu diambil dari nama ikan keting (seperti lele) yang berjasa karena telah membantu menepikan jasad Dewi Sekardadu setelah tenggelam di samudera saat mencari bayinya.
Sang bayi yang berada dalam peti yang dipaku rapat diombang-ambingkan oleh ombak samudera hingga akhirnya ditemukan oleh anak buah Nyai Ageng Pinatih di kawasan Laut Gresik.
Nyai Ageng Pinatih merawat sang bayi dengan penuh kasih hingga menyekolahkannya ke pesantren Sunan Ampel di Surabaya. Kelak ia tumbuh menjadi manusia dewasa dengan nama Raden Paku atau Jaka Samudra. Setelah mendapatkan tempaan ilmu dari para wali pendahulunya beliau bergelar Sunan Giri.
Masyarakat Gresik meyakini kalau makam Dewi Sekardadu justru berada di Blambangan yang sekarang dikenal dengan nama Banyuwangi. Sebagai anak yang berbakti kepada ibundanya, Sunan Giri juga melakukan ziarah ke pusara Dewi Sekardadu di Banyuwangi.
Konon makam Dewi Sekardadu berada di sebuah bukit. Mengingat jarak Kota Gresik dan Banyuwangi yang cukup jauh maka sang sunan bermunajat kepada Allah agar makam Dewi Sekardadu beserta bukitnya dipindahkan ke kota di mana beliau mengajarkan Islam pertama kali.
Setelah khusyuk berdoa akhirnya permohonan Sunan Giri dikabulkan Allah. Tiba-tiba muncullah suara gemuruh. Anak dan istri beliau sempat ketakutan dengan suara itu.
“Secara gaib makam Dewi Sekardadu yang tak lain ibundanya sendiri itu beserta bukitnya muncul di sebelah selatan pesantren (Giri Kedaton) yang didirikannya. Tempat di mana makam berada kemudian dinamakan Desa Gunung Anyar,” kata Alifan, juru kunci makam Sekardadu di Gresik, Jatim.
Dalam sejarah disebut, Dewi Sekardadu merupakan putri Prabu Minak Sembuyu dari bumi Blambangan, Banyuwangi. Ia dikenal sebagai putri yang rupawan sekaligus baik hati.
Suatu saat, kecantikan sang Dewi ternoda seiring dengan menjamurnya wabah penyakit yang menyerang warga. Banyak penduduk yang mati secara tiba-tiba tanpa diketahui sebab musababnya, sakit di pagi hari, malam harinya meninggal dan begitu seterusnya. Penyakit aneh tersebut juga menyerang Dewi Sekardadu.
Melihat fenomena yang tak lazim, Prabu Minak Sembuyu kelabakan. Dia sungguh sangat khawatir kalau putri tunggalnya sampai menemui ajal lantaran sakit yang diderita tak kunjung bisa disembuhkan. Ia pun berbulat tekad menggelar sayembara. Siapa pun orangnya yang bisa menyembuhkan sakit putrinya, jika itu pria bakal dijadikan suaminya dan jika perempuan, akan dijadikan saudara.
Sayembara tersebut didengar oleh Syekh Maulana Ishaq, asal negeri Timur Tengah yang saat itu sedang berdakwah. Beliau langsung mendaftarkan diri ikut sayembara. Tapi juru dakwah tersebut mengajukan syarat, jika berhasil menyembuhkan, ia minta Minak Sembuyu dan seluruh pengikutnya harus masuk Islam. Tanpa banyak kata, Minak Sembuyu menyanggupi syarat tersebut.
Tapi apa dikata, setelah Syekh Maulana Ishaq berhasil mengobati Dewi Sekardadu sampai sembuh dan mempersuntingnya, Minak Sembuyu justru ingkar janji, ia dan para pengikutnya ogah memeluk agama Islam. Bahkan, dia berusaha membunuh Syekh Maulana Ishaq.
Sadar dirinya dalam bahaya, Syekh Maulana Ishaq pamit kepada istrinya meninggalkan Blambangan. Ia berpesan kelak jika lahir laki-laki agar diberi nama Raden Paku.
Raja Blambangan murka. Ia khawatir Raden Paku bakal merusak wibawanya. Karena itu, ia memutuskan untuk membuang cucunya ini ke laut. Para prajurit memasukkan si bayi ke dalam peti dan mengapungkannya. Mengetahui anak tercintanya dibuang ke laut, Dewi Sekardadu menceburkan diri ke laut mengejar-ngejar anaknya. Namun akhirnya Dewi Sekardadu meninggal.
Bayi Raden Paku ditemukan dan kemudian diasuh oleh Nyai Gede Pinatih di Gresik. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra. Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya) untuk belajar agama kepada Sunan Ampel.
Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai.
Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku (Sunan Giri), mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.