Identifikasi Jenazah Korban Mina Tak Semudah yang Dipikirkan
Jumat, 9 Oktober 2015 - 11:37 WIB
Sumber :
- REUTERS/Stringer
VIVA.co.id - Kementerian Agama oleh sebagian kalangan sempat dikritik, karena lamban mengidentifikasi dan mengumumkan jemaah haji wafat korban musibah di Mina, Arab Saudi, pada 24 September 2015.
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di Mekkah pun menjadi sasaran utama kritik masyarakat di Tanah Air pada sehari-dua hari, setelah peristiwa kecelakaan massal itu.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, sudah menjelaskan kepada publik betapa tidak mudahnya mengidentifikasi jenazah jemaah haji Indonesia yang bercampur dengan jemaah dari negara lain. Lagi pula, Indonesia harus menghormati seluruh aturan dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah Saudi.
Semua proses identifikasi pun harus hati-hati dan teliti, sehingga informasi yang disampaikan kepada publik maupun keluarga korban dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum.
Letnan Kolonel TNI Jaetul Muchlis, ketua Tim Identifikasi Jenazah, mengisahkan sedikit lebih mendetail tentang ragam kesulitan yang dihadapi dalam proses pengidentifikasian jenazah korban Mina.
Muchlis memimpin tim identifikasi yang beranggotakan empat orang: dia, dr Taufik Tjahjadi (Kementerian Kesehatan), Naif Bajri Basri Marjan (tenaga musiman), dan Fadhil Ahmad (staf pada Konsulat Jenderal RI di Mekkah).
Tiada prosedur tetap
Baca Juga :
Letnan Kolonel Muchlis, bahkan menyebut "tidak segampang yang dipikirkan" untuk mendeskripsikan macam-rupa kendala yang dihadapi tim. Pertama dan utama, katanya, Pemerintah Saudi, ternyata tak memiliki prosedur tetap dan jelas tentang ketentuan penanganan situasi darurat seperti musibah Mina itu.
Ketiadaan prosedur tetap (protap) itu menyulitkan tim mengakses informasi, memeriksa jenazah, dokumen jenazah, mengecek foto jasad, dan lainnya. Satu waktu, petugas Saudi menyatakan penggunaan, misal prosedur A. Di lain waktu, petugas yang lain bilang memakai prosedur B. Kadang, satu pejabat mengizinkan tim Indonesia mengakses jenazah, tetapi pejabat lainnya melarang.
"Setiap orang tidak memiliki standar pelayanan yang jelas,” Muchlis di Mekkah, Kamis waktu Arab Saudi, 8 Oktober 2015, sebagaimana dikutip dari laman resmi Kementerian Agama, Kemenag.go.id.
Tim baru mendapatkan akses, setelah lebih satu kali 24 jam. Tapi akses itu baru sebatas dibolehkan melihat, mengamati, dan mencermati foto-foto jenazah yang dirilis otoritas Saudi, belum diizinkan masuk ke kamar-kamar jenazah, atau tempat pemulasaraan. Akses itu masih jauh dari memadai untuk mengidentifikasi jenazah, tetapi cukuplah sebagai modal awal.
Memelototi foto
Tim mengoptimalkan keterbatasan akses itu. Ribuan foto yang dipajang pada dua ruang galeri di tempat pemulasaraan Mu’aishim dipelototi satu per satu, mencari petunjuk awal dalam proses identifikasi.
Sebenarnya, ada tiga hal yang dilakukan Mu’aishim terhadap jenazah korban Mina. Setiap jenazah yang diturunkan dari kontainer berpendingin difoto, diambil sidik jari, lalu diambil sampel DNA. Pada saat bersamaan, seluruh perangkat yang melekat pada jenazah jemaah disimpan dalam satu file sebagai data pendukung identifikasi jemaah.
Sayang, akses yang diberikan ke tim identifikasi baru sekadar melihat dan mengamati foto, tidak untuk data/dokumen lain. Memeriksa satu per satu dari ribuan foto tentu bukan pekerjaan mudah, belum lagi konsentrasi tim harus diganggu bau menyengat dari gedung seberang jalan, yang menjadi tempat pemulasaraan jenazah.
Perlahan tapi pasti, jenazah mulai diidentifikasi. Setelah dua hari, tim identifikasi berhasil mengenali tiga jenazah jemaah haji Indonesia. “Ada yang bisa kita lihat, kita identifikasi, kita verifikasi, yang berangkat dari kebiasaan orang Indonesia, kelaziman orang Indonesia. Baik dari segi berpakaian mungkin, dari raut mukanya mungkin," kata Muchlis.
"Juga hal-hal yang mungkin khas dipakai jemaah Indonesia, seperti gelang dan slayer beraneka warna. Ini modal awal kami di tim ini untuk menelusuri keberadaan dari yang diduga sebagai korban dalam peristiwa ini,” dia menambahkan.
Mendobrak akses
Tim belum menyerah hanya dapat mengakses memeriksa foto, karena amat tak cukup mengidentifikasi jenazah dengan foto saja. Tim bertekad harus mampu mendapatkan seluas-luas akses, apa pun dan bagaimana pun caranya. Prosedur formal tak mempan. Kalau pun berhasil, pasti tidak dalam waktu singkat.
Tim mencoba bernegosiasi dengan otoritas maupun petugas di Saudi, Kepolisian, atau pun Kementerian Kesehatan, melalui pendekatan kultural. Seorang anggota tim, Naif Bajri, kebetulan cukup memahami karakter dan kultur orang Arab. Soalnya dia dilahirkan dan dibesarkan di Saudi.
Naif Bajri menjajal segala upaya yang pada pokoknya menjalin hubungan baik dengan petugas Saudi. Hubungan baik diharapkan mereka sedikit lebih terbuka, atau memberikan akses.
“Kalau mungkin lazimnya orang sini harus peluk kiri-kanan, cipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri), kita lakukan semua itu. Kita ekspos apa yang mereka senangi. Kita perkenalkan Indonesia, sehingga ada komunikasi," kata Naif Fajri.
Keberadaan Naif memang cukup signifikan. Selain bisa berbahasa Arab, Naif Fajri juga tidak mudah menyerah. Dia mengaku dengan orang Arab bisa seperti teman, meski orang Arab sering kaget ketika melihat wajahnya khas Indonesia tapi lebih lancar berbahasa Arab.
“Saya bilang mau data ini langsung dikasih. Itu karena ada kemampuan bahasa, apalagi saya juga tahu sifat orang Arab,” ujarnya.
Diusir petugas
Langkah selanjutnya adalah membantu pekerjaan orang Arab, karena mereka senang kalau dibantu. “Saya tahu orang Arab, kalau kita mau bantuin, dia suka. Orang Arab di sini senang kalau kita bantu. Misalnya, kita bantu pekerjaan mereka mengarsip dokumen, dia suka. Kita bisa sekalian ambil data yang kita mau," katanya.
Walhasil, akses terhadap arsip (file) jenazah diperoleh. Berbeda dengan gedung galeri foto, tempat penyimpanan file berada pada gedung yang sama dengan tempat pemulasaraan jenazah. Persisnya pada ruang yang bersebelahan. Perjuangan semakin berat mengingat jarak kian dekat dengan posisi jenazah yang usianya terus bertambah. Aroma busuk pun semakin menyengat.
Tim mencoba mengabaikannya karena yang utama adalah mereka mendapatkan akses dokumen. Tapi tidak segampang yang dibayangkan. Di Mu’aishim banyak polisi perintahnya tidak sama. Tidak jarang kebijakan berubah karena antara satu dengan lainnya memang berbeda.
“Satu orang mempersilakan kita mengakses buka file di gudang arsip mereka, tetapi satu orang lagi melarangnya. Inilah terjadi friksi-friksi yang kami hadapi. Tetapi, dengan berbagai upaya bagaimana tim ini bisa mencari titik-titik atau celah sekecil apa pun untuk bisa masuk dan mendapatkan akses orang yang ada di sini,” kata Muchlis.
Tak ada peraturan baku dalam penanganan jenazah di Mu’aishim juga diakui Taufik salah satu kendala. Taufik mengaku sekali mendapatkan akses tetapi di lain waktu dilarang. Diusir petugas saat akan mengidentifikasi adalah hal biasa.
“Kita tidak pulang. Kita sudah tahu bahwa kayak begini kerja mereka. Jadi, kita harus sabar. Paling geser saja dulu, nanti sebentar yang lain lagi ajak kita masuk. Walau pun pada akhirnya kita diusir lagi, itu tidak masalah,” ujar Taufik.
Tim pertama
Muchlis dan tim bersyukur, karena tim identifikasi Indonesia menjadi satu-satunya, atau yang pertama yang berhasil mengakses gudang arsip jenazah di Mu’aishim. Pencarian dilakukan pada tahapan berikutnya. Bermodalkan hasil identifikasi foto, tim kemudian mencocokkannya dengan arsip milik polisi Mu’aishim sesuai nomor register yang tercatat di foto.
Jika masih meragukan, tim masuk pada tahapan ketiga, yaitu melihat langsung jenazah korban sesuai nomor foto yang diperoleh. “Kita buka file dengan nomor yang sama dengan foto itu. Di tahap ketiga, kita meyakinkan dengan melihat jenazah yang ada dalam peti itu,” kata Muchlis.
Pelan tapi pasti, jenazah demi jenazah berhasil diidentifikasi. Sampai Rabu, 07 Oktober 2015, 120 jenazah dikonfirmasi orang Indonesia, terdiri 115 jenazah jemaah haji dan lima jenazah yang mukim di Saudi. Proses identifikasi tetap berlanjut, karena masih ada delapan jamaah haji Indonesia yang dilaporkan belum kembali. (asp)