Kisah Suku Terasing yang Tak Tersentuh Bantuan

Perempuan suku terasing di Maluku.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Angkotasan
VIVA.co.id - Suku terasing di Maluku yang mendiami hutan Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah luput dari segala program pemerintah. Program kesehatan, pendidikan, maupun paket program sosial luput menjangkau keberadaan mereka.

Meski begitu, Kepala Pemerintah Desa Hatumeten Kecamatan Tehoru, Bernand Lilihata, mengklaim penduduk empat suku terasing di daerahnya telah terdaftar sebagai penduduk Hatumeten dalam sensus penduduk miskin 2010 silam. Namun, Lilihata menyayangkan warganya yang tak juga terdaftar dalam penerima manfaat jaminan kesehatan nasional. Mereka juga terdaftar dalam daftar penerima program PKH, penerima BLT, serta penerima raskin. Mirisnya, mereka hanya digunakan untuk kepentingan politik.

"Jika momentum demokrasi, mereka ada dalam Daftar Pemilih Tetap, mereka ikut Pilkada,  Pilpres, Pileg, tapi mereka tidak pernah mendapatkan program apa pun, baik jaminan  kesehatan maupun program lainnya," ujar Bernand Lilihata kepada
VIVA.co.id,
Rabu 7 Oktober 2015.


Perjalanan dari Desa Hatumeten memang butuh waktu berjam-jam, sekitar tiga sampai lima jam untuk sampai ke pemukiman keempat suku terasing tersebut. Tak jarang sifat nomaden suku terasing seringkali dijadikan kendala bagi perangkat desa untuk menjangkau mereka.


Suku Usali misalnya terletak di empat kilo meter ke arah utara hutan Desa Hatumeten. Suku Losa berada di posisi 7 kilo meter ke arah utara berbatasan langsung dengan taman nasional Manusela. Sementara Suku Sinahari terletak pada tujuh kilo meter ke arah timur laut berbatasan langsung dengan taman nasional Manusela dan Suku Hatukele terletak lima kilo meter ke arah timur laut.


Adapun alasan mereka berpindah, kata Lilihata, lebih dipengaruhi faktor ketersediaan pangan yang sering mereka manfaatkan untuk bertahan hidup. Praktik nomaden masih dilakukan kala keluarga kehilangan salah satu anggotanya. Bagi mereka, kematian adalah hal buruk sehingga menjadi alasan mereka untuk berpindah ke tempat lain.


"Satu rumah bisa dihuni tiga sampai lima kepala keluarga, bagi mereka orang meninggal itu pertanda tidak baik, jadi kalau di rumah itu ada orang yang meninggal, semuanya langsung pergi, membangun rumah di tempat lain asalkan ada pohon sagu dan sumber air," ucap Lilihata.


Di bidang pendidikan, suku terasing masih jauh tertinggal. Anak-anak mereka tidak pernah mengenyam pendidikan. Sementara di bidang kesehatan, pola hidup empat suku itu juga masih jauh dari standar sehat, seperti soal mandi, cuci dan kakus.


Lilihata yang juga seorang mantri desa mengatakan kondisi kesehatan penduduk suku terasing sangat memprihatinkan. Cara tradisional mereka dalam melahirkan anak masih menjadi faktor penyumbang tingginya angka kematian ibu dan bayi.


Anggota DPRD Maluku, Habiba Pellu, yang pernah mengunjungi mereka, mengatakan penduduk suku-suku terasing itu tidak sembarang melakukan komunikasi dengan orang luar yang belum mereka kenal.


"Meraka sangat hati-hati, jika anda mau berkomunikasi, harus ramah dan lembut, senyum, barulah mereka akan berani menatap Anda," tutur Habiba.


Kala mendistribusikan alat masak kepada puluhan kepala keluarga, Habiba mengaku butuh waktu beradaptasi lebih dulu. Mereka masih memasak dengan menggunakan alat masak yang terbuat dari bahan alam, bukan panci, apalagi wajan.


"Bukan mereka tidak mau, tapi karena tidak punya uang untuk bertransaksi, membeli panci, piring, dan wajan," tutur Habiba yang ikut mendorong agar pemerintah harus adil memperhatikan masyarakat.