Ini Sebab Warga Batang Tolak Pembangunan PLTU
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Langkah warga Batang, Jawa Tengah, tak surut menggugat pembangunan PLTU di areal 700 hektare. Proyek raksasa itu akan dibangun dengan dana berlimpah hingga US$4 miliar.
PLTU Batang dibangun oleh konsorsium tiga perusahaan swasta yang terdiri dari J Power, Itochu, dan Adaro Power. Mereka menetapkan Batang sebagai lokasi pembangkit.
Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia, Desriko, menjelaskan kronologi dan latar belakang kasus penolakan warga Batang Jawa Tengah terhadap pembangunan Pembangkit listrik Tenaga Uap (PLTU) oleh PT Bhimasena Power Indonesia (BPI).
PLTU Batang ditargetkan mampu menghasilkan tenaga listrik yang akan dijual ke PLN. Sehingga hubungan antara BPI dengan PLN diposisikan sebagai pembeli dan penjual. Oleh BPI, PLN diposisikan sebagai konsumen dengan kontrak selama 25 tahun.
Tiga perusahaan tersebut memiliki tugas yang berbeda-beda dalam pembangunan PLTU. Adaro Power sebagai penghasil bahan bakar batubara, Itochu membangun dan menyediakan alat, sementara J Power sebagai pakar yang mendesain dan mengonstruksi PLTU yang ramah lingkungan. Adapun BPI hanya bertugas sebagai operator yang akan mengurusi beban listrik yang dijual ke PLN kelak.
Desriko menyatakan proyek tersebut sudah dimulai sejak 2011. Kendati begitu, proyek tersebut urung dilanjutkan karena persoalan sengketa lahan dengan warga. BPI bisa membangun PLTU setelah mendapatkan izin lokasi dari Bupati Batang seluas 226 hektare. Adanya izin tersebut BPI diwajibkan melakukan pembebasan lahan untuk pembangunan proyek dengan skema keperdataan berupa ganti rugi.
Pembebasan lahan ini pun dilakukan dengan berbagai cara mulai dengan jual beli hingga upaya mengerahkan aparat penegak hukum seperti TNI dan Polri. Persoalannya, kata Desriko, warga tetap tak ingin menyerahkan tanah mereka. Hingga akhirnya BPI menyerah untuk membebaskan lahan.
Pada momen ini, pemerintah mengambil peran untuk bisa membebaskan tanah. Melalui perubahan ke-4 perjanjian antara BPI dengan PLN, tercatat kewajiban membebaskan lahan menjadi tanggungan PLN.
Di tangan PLN itulah masyarakat Batang tidak mempunyai pilihan mempertahankan tanahnya dan 'dipaksa' menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi. PLN berdalih pembebasan lahan dilakukan untuk kepentingan umum. Padahal, kuat kemungkinan pembebasan lahan yang berada di areal izin operasi akan disewakan pada PLN pada BPI.
Greenpeace menduga ada penyelundupan hukum atas kasus tersebut sebab pembebasan lahan diberi label negara. Padahal, pada akhirnya pembebasan lahan itu akan digunakan untuk BPI yang statusnya murni perusahaan swasta.
Tanah masyarakat Batang yang terancam proyek PLTU tergolong lahan produktif. Dalam pengelolaan masyarakat, lahan tersebut mampu menghasilkan 6 ton setiap hektarenya. Pembebasan lahan oleh BPI mengakibatkan masyarakat kini kehilangan pekerjaan yang mayoritas adalah petani. Atas dasar inilah masyarakat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang.