Membuka Ruang LGBT dalam Media di Indonesia
- REUTERS / Huseyin Aldemir
VIVA.co.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan United Nations Development Program (UNDP) menggelar diskusi terarah dengan 20 editor, membahas isu LGBTI (lesbian, gay, biseks, transgender, interseks).
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Suwarjono mengatakan, LGBT adalah isu sensitif yang tidak semua media dapat memberitakan secara berimbang.
Sering kali karena pertimbangan traffic, media terjebak menggarap isu LGBT dengan mengedepankan sisi sensasional dan bombastis. "Editor meeting ini untuk membangun kesepahaman bagaimana media memuat isu LGBTI agar lebih berimbang dan meningkatkan kualitas pemberitaan," kata Suwarjono dalam rilis AJI, Selasa 6 Oktober 2015.
Kegiatan ini adalah kampanye untuk media “Better Journalism for Being LGBTI in Asia-II di Indonesia”. Sebagai bekal pertemuan editor ini, AJI Indonesia, melakukan pemetaan awal media (scanning media) bertujuan mendapat informasi awal bagaimana media menempatkan kelompok LGBTI dalam pemberitaan.
Porsi Minim
Riset mengambil periode pemberitaan 15 Juli-20 Agustus 2015. Hasil pemetaan pemberitaan terhadap 20 media cetak dan online yang terbit secara nasional serta lokal, muncul 113 pemberitaan.
Media online paling banyak menurunkan berita tentang LGBTI mencapai 107 kali (86,99 persen). Sedangkan media cetak hanya menurunkan 16 berita (13,01 persen).
Jika menilik dari kategori berita, media cetak dan online, masalah yang menarik bagi media terkait upaya memperjuangkan pengakuan identitas mereka di ruang publik dan mengakses hak ekonomi (28,46 persen).
Berita tentang perjuangan mendapatkan hak mengakses ekonomi ini sering kali tidak tunggal, tapi juga diikuti dengan gambaran ekses dari upaya mendapatkan hak tersebut. Ketika memperjuangkan hak ekonomi, tampak dalam berita LGBT rentan mendapatkan kekerasan non seksual di ruang publik.
Dalam memberitakan LGBT jenis tulisan yang sering muncul adalah straight news atau berita cepat mencapat 72,97 persen. Sedangkan model berita feature 11,71 persen dan berita indepth news hanya 7,21 persen.
Ini bisa jadi karena dipengaruhi sumber berita. Mayoritas media menurunkan berita karena bersadarkan pada peristiwa, bukan berdasarkan ide. Tidak hanya berita tentang LGBT di dalam negeri tapi juga di luar negeri.
Berita berdasarkan ide dengan model tulisan lebih mendalam atau indepth news mayoritas berasal dari kantor berita Australia, ABC online. Media ini sering menurunkan berita tentang LGBT di Australia dari beberagam sisi, misalnya upaya memperjuangkan identitas di ruang publik, hak mengakses kesehatan, kelompok LGBT rentan kekerasan termasuk dari pasangan, dan tantangan kelompok LGBT mendapatkan akses ekonomi yang layak dengan lebih berimbang.
Di dalam negeri, ABC telah bekerja sama dengan beberapa media online sebagai penyuplai konten dengan kanal khusus, Australian Plus. "Sedangkan berita kelompok LGBT dari dalam negeri muncul ketika terlibat tindak kriminal. Model berita ini rentan terjadi pelanggaran etik, cenderung tidak berimbang," kata Ketua Bidang Perempuan dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia Yekthi Hesthi Murthi.
Merujuk pada hasil pemetaan awal pemberitaan, maka diperlukan pemahaman secara mendalam kepada wartawan atau penulis terkait etika penulisan kelompok minoritas (LGBT) dalam berita.
“Ini untuk menghindari kekerasan simbolik media karena sering muncul diksi-diksi dalam pemberitaan yang tidak sensitif terhadap kondisi kelompok LGBT,” katanya.
"Bagaimanapun media mempunyai peran advokasi terhadap kelompok minoritas dan terdiskriminasi."
Hadir dalam editor meeting ini dua pembicara, Dede Oetomo (Gaya Nusantara)s erta Rr. Agustine dari Ardhanary Institute. Agustine meminta media tidak berperan sebagai polisi moral ketika memberitakan LGBT. “Cukup sajikan fakta tanpa embel-embel yang merugikan,” katanya.