Di Kampung Ini Warga Dilarang Nikahi Orang Luar

Warga Kampung Kawung Pandak Kaum.
Sumber :
  • FOTO: VIVA.co.id/Dody Handoko
VIVA.co.id - Kampung Kawung Pandak Kaum, Bogor, Jawa Barat, adalah kenangan dari zaman kerajaan Pajajaran. Nama kampung tersebut artinya masih dihuni kaum pemuka agama Islam, kerabat dari para Raden keturunan zaman kerajaan Pajajaran.
 
Tak heran, jika sampai saat ini para lelaki kampung ini banyak yang menjadi ustaz, kyai, maupun terjun dalam majlis talim. Meski begitu, warga daerah ini masih memegang teguh ajaran-ajaran karuhun mereka seperti misalnya melaksanakan ritual jamasan pusaka ketika peringatan maulid nabi Muhammad SAW.
 
Satu hal yang unik, warga kampung itu dilarang menikah dengan orang di luar keturunan mereka. “Hal ini bertujuan agar garis keturunan Raden tidak hilang. Warga Kampung Kawung Pandak Kaum menyandang nama Raden di depan nama mereka,” ujar Udin, salah seorang warga.

Meski diapit oleh warga pendatang, namun warga asli masih tetap mempertahankan komunikasi antar kerabatnya dengan bahasa Sunda. Sisa-sisa peninggalan berupa pusaka zaman Kerajaan Pajajaran juga telah diwariskan kepada mereka yang merupakan keturunan dari kerajaan ini.
 
Tidak semua bisa mewarisi pusaka ini. Umumnya senjata-senjata ini diwariskan secara ilamat (diberikan setelah mendapat petunjuk dari leluhur untuk merawatnya).
 
Kampung Kawung Pandak Kaum, Desa Karadenan ini dulunya dibuka oleh salah satu prajurit Pajajaran yang sudah masuk islam yaitu Raden Syafi’i, makamnya berada tepat di depan masjid kampung ini. Raden Syafi’i merupakan cucu dari Pangeran Sangiang atau yang lebih dikenal dengan Prabu Surawisesa yang pernah juga menjadi Raja Mandala di Muara Beres, Bogor.
 
Alkisah, setelah kerajaan pajajaran mengalami kehancuran, dari 74 orang anak keturunan dari Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal dengan Prabu Siliwangi (ayah Prabu Surawisesa, red), ada sekira delapan orang masuk agamaIslam. Masing-masing dari mereka adalah Prabu Walang Sungsang, Prabu Kian Santang, Dewi Ratu Rara Santang, Ratu Adil, Ratu Asa, Ratu Basa, Pangeran Bugil dan Pangeran Purbajati.
 
Raden Syafi’i merupakan keturunan ke empat dari Prabu Surawisesa. Keturunan pertama, adalah Raden Ahmad Mahmud yang mempunyai dua putra Raden Muhammad Kohar dan Raden Nasib. Raden Nasib memiliki tiga putra yang salah satunya adalah Raden Syafi’i.
 
Kala itu, Raden Syafi’i mendapatkan mandat untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Bogor bagian utara. Waktu umur enam tahun ia sudah hafal Alquran. Kemudian umur 10 tahun hafal 1.000 hadist. Ia merupakan salah satu anak didik Sunan Giri.
 
Kemudian Raden Syafi’i mengembara bersama beberapa pengawal terpilih dan berpengalaman. Pengembaraan dilakukan untuk mencari daerah yang cocok untuk mendirikan tempat untuk mendakwahkan Islam.
 
Pada saat rombongan Raden Syafi’i tiba di tepi Sungai Ciliwung, beliau melihat daerah seberang sungai atau sebelah timur yang cukup menarik dan cocok untuk dijadikan sebagai pusat dakwah.
 
Awalnya Karadenan ini adalah rawa-rawa. Bukanlah hal yang mudah untuk menyebarkan agama Islam di daerah ini. Selain kondisi daerah yang masih terbilang ‘perawan’, masyarakat sekitar masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau animisme.
 
Berkat kegigihan beliau akhirnya pada tahun 1667 mendirikan sebuah masjid untuk mendakwahkan ajaran Islam yang telah dipelajarinya. Dalam proses mengislamkan daerah tersebut, Raden Syafi’i terlebih dulu mengikuti budaya-budaya yang masih mereka anut.
 
Kemudian beliau memberikan suguhan terhadap hal-hal yang mereka senangi dan sedikit demi sedikit beliau susupi dengan ajaran-ajaran Islam. Tak hanya itu, pada saat itu beliau juga mengajarkan ilmu bela diri untuk melawan penjajahan Belanda.
 
Kini Masjid ini merupakan salah satu peninggalan sejarah yang dilindungi. Masjid ini pernah dipakai sebagai markas para pejuang menentang penjajah. Banyak di antara mereka yang tergabung dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat).
 
Meskipun Kampung Kampung Kaum Pandak Kaum beragama Islam, namun keyakinan ajaran leluhur masih terlihat sangat kental. Salah satunya mitos agung yang masih dianut yakni percaya terhadap hari baik dan buruk. Perhitungan hari tersebut digunakan untuk menentukan saat-saat yang baik dan kurang baik dalam memulai kegiatan.
 
Dulunya Kampung Kawung Pandak Kaum hampir meliputi seluruh wilayah Desa Karadenan, namun kini yang hanya tersisa 3 RT dari wilayah RW 4.