Gendjer-Gendjer, Lagu 'Hantu' di Darah Para Jenderal

Ilustrasi/Peringatan 50 tahun G30 S PKI di Indonesia
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak

VIVA.co.id - Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tolah-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih...


Penggalan lirik lagu ini membekas kuat bagi yang pernah menonton karya film hasil besutan Arifin C Noer dalam film Pengkhianatan G30S PKI.

Film yang selama 15 tahun menjadi tontonan wajib rakyat Indonesia ini menampilkan jelas bagaimana para anggota Gerwani PKI menyiksa dan membantai tujuh jenderal tinggi Indonesia sembari bersukacita mendengarkan lagu Gendjer-gendjer.

"Darah itu merah Jenderal." Begitu kutipan dialog yang semakin mempopulerkan kekejaman para nggota PKI kala itu.

Lagu 'Hantu'

Kini, setengah abad sudah Gendjer-gendjer menghilang. Tak ada yang berani menyanyikan atau pun mendendangkannya lagi.

Lagu karangan Muhamad Arif pada tahun 1942 dan pernah menjadi lagu terpopuler di Indonesia ini pun menjadi lagu 'hantu'. Siapa pun yang mendendangkannya akan dihujat, dicekal, dipenjara ataupun hilang tak berbekas.

Lagu ini telah dicap sebagai lagu para anggota PKI. Siapa pun yang menyanyikan maka harus diperlakukan seperti anggota PKI yakni dihukum atau pun paling sadis dibunuh.

Dahulunya, lagu Gendjer-gendjer, sejatinya adalah lagu pelipur lara rakyat Banyuwangi di masa pendudukan Jepang.

Baca Juga:


Lagu ini hendak menyiratkan kesusahan rakyat yang kesulitan mencari bahan makanan. Di mana kala itu, hanya genjer  (Limnocharis flava) yang dulunya hanya dikonsumsi bebek menjadi pilihan makanan.

Namun sial. Karya seni ini malah dipelesetkan. Gendjer-gendjer disematkan sebagai bagian dari alat propaganda di rezim Orde Baru. Lagu ini menjadi penanda sekaligus 'restu' bila ada orang yang hendak menangkap para anggota PKI.

Tak jelas darimana keterkaitannya antara PKI dan Gendjer-gendjer. Namun pencipta lagunya ikut terbunuh. Jutaan orang dilaporkan ikut menjadi korban pembantaian setelah militer menyerukan penumpasan PKI pada 1 Oktober 1965.

“Harus diakui bahwa korban pelanggaran HAM 1965-1966 adalah memang korban. Kalau memang mau rekonsiliasi, hal itu tidak bisa datang dari negara, namun dari para korban itu sendiri,” ujar Cendikiawan Frans Magnis Suseno atau akrab disapa Romo Magnis seperti dikutip dalam tribunal1965.org.

Apa pun itu, Gendjer-gendjer, pernah menjadi lagu terpopuler sepanjang masa. Penderitaan orang Indonesia yang direpresentasikan dalam Gendjer-gendjer, begitu memilukan.

Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar
Emak'e jebeng podho tuku nggowo welasah

Genjer-genjer saiki wis arep diolah
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelonco
Genjer-genjer dipangan musuhe sego