Istana: Tak Ada di Pikiran Minta Maaf pada PKI
Rabu, 30 September 2015 - 13:26 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id - Istana membantah isu bahwa Pemerintah berencana meminta maaf secara resmi terhadap para korban tragedi kemanusiaan pada 1965 atau lebih dikenal G-30S (Gerakan 30 September 1965). Peristiwa itu disebut didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baca Juga :
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan tak ada sedikit pun niat Pemerintah untuk meminta maaf, apalagi kepada PKI dan keluarga korban. Isu itu hanya dihembuskan kelompok tertentu sehingga membiaskan maksud Pemerintah.
"Spesifik minta maaf pada PKI, saya pikir tidak ada di pikiran. Saya pikir, itu yang menjadi isu seolah-olah pemerintah ini disusupi PKI. Itu sama sekali konteks tidak benar," kata Menteri di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 30 September 2015.
Dia menjelaskan, Pemerintah beritikad baik membuat rekonsiliasi atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dikategorikan pelanggaran berat pada masa lampau, bukan meminta maaf.
Alasannya, banyak kasus pelanggaran berat yang dinilai tak lagi dapat diselesaikan secara hukum, terutama karena banyak bukti hilang.
Namun, formula atau rumusan rekonsiliasi itu masih dibahas. Pemerintah pun meminta pertimbangan dan saran dari banyak pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat, seperti Kontras atau organisasi nirlaba sejenis yang memiliki perhatian terhadap masalah-masalah itu.
Luhut mengaku sudah mempunyai gambaran seperti apa rekonsiliasi dari masalah-masalah masa lalu itu. "Saya kira-kira, saya sudah mendapat gambaran yang lebih jelas apa yang akan kita lakukan," kata Luhut.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan peluang untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui rekonsiliasi.
Pembentukan Komite Rekonsiliasi telah disepakati dalam rapat gabungan yang terdiri dari Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Koordinator Politik, pada Mei 2015. Komite akan bekerja langsung di bawah pengawasan Presiden.
Namun sampai sekarang masih sedikit yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk para korban pelanggaran HAM 1965. Sementara diskriminasi masih berlangsung sampai kini, sejumlah pertemuan di sejumlah tempat yang dilakukan para eks tahanan politik yang sudah berusia lanjut dibubarkan. (ase)