Cucu Ulama Besar Membelot dari Kepemimpinan NU
Senin, 21 September 2015 - 18:14 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVA.co.id - Cucu ulama besar KH Asad Syamsul Arifin, Ahmad Azaim Ibrahimy, mengumumkan diri membelot atau tak mematuhi kepemimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) hasil Muktamar organisasi itu di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus 2015.
Baca Juga :
Azaim, melalui rilis pers yang diterima VIVA.co.id, menyatakan mufaroqoh atau memisahkan diri dari PB NU. "Kami menyatakan mufaroqoh (melepaskan diri dari tanggung jawab) dan tidak ada kait-mengkait antara kami dan PB NU hasil Muktamar ke-33 NU di Jombang," katanya di Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Situbondo, Jawa Timur, Senin, 21 September 2015.
Azaim berbicara mengatasnamakan keluarga besar Pesantren Salafiyah Syafiiyah di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Pesantren itu adalah pesantren yang didirikan mendiang kakeknya, KH Asad Syamsul Arifin, yang kini dipimpinnya.
Dia menilai, sehingga kepengurusan yang dihasilkan pun tak sah. Begitu juga dengan seluruh kebijakan organisasi. Penyimpangan-penyimpangan itu tak dapat dibiarkan dan keluarga besar Pesantren Salafiyah Syafiiyah tak boleh ikut menutup-nutupinya.
"Setelah mengamati dengan seksama melalui pengkajian secara lahiriah dan batiniah serta ber-tawassul (berdoa dengan perantaraan nama seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Tuhan) kepada para ulama pendiri NU, kami melihat adanya penyimpangan tata cara Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015, yang kemudian menghasilkan keputusan dan langkah-langkah yang menyimpang pula," ujarnya.
Azaim menyatakan tetap berkomitmen dan mengabdi kepada NU, sebagaimana diwasiatkan kakeknya. Namun dia menolak bertanggung jawab atas penyimpangan dalam penyelenggaraan Muktamar dan berarti pula tak mengakui kepengurusan hasil muktamar itu.
Dia juga menyerukan kepada para ulama dan nahdliyin untuk tetap berkhidmat kepada NU dan melestarikan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah meski tak mengakui hasil Muktamar. "Kami menyerukan kepada para ulama dan warga nahdliyin agar tetap teguh mempertahankan dan menjalankan ajaran Ahlussunnah Waljamaah serta mempertahankannya dari serangan akidah dan ideologi lain."
Khittah NU
Pesantren Salafiyah Syafiiyah adalah satu pesantren besar dan berpengaruh di Jawa Timur. Pesantren itu juga merupakan tempat dirumuskan dan ditetapkan konsep NU kembali ke khittah (tujuan dasar NU sebagai organisasi kemasyarakatan, bukan partai politik) pada tahun 1984.
Sejumlah keputusan penting dibuat dalam Muktamar di Situbondo, di antaranya, penegasan NU kembali ke khitah dan tidak menjadi bagian partai politik mana pun. Keputusan lain adalah mengembalikan dan meneguhkan kepemimpinan ulama di struktur kepemimpinan organisasi NU serta penegasan supremasi syuriah atas tandfiziyah dalam status dan hukum di organisasi NU.
KH Asad Syamsul Arifin saat itu adalah tuan rumah. Kekuatan NU terbelah dua, yakni Poros Cipete dan Poros Situbondo. Poros Cipete dengan tokoh sentral KH Idham Chalid, yang barisan pendukungnya mayoritas aktivis NU yang bergelut di ranah politik. Poros Situbondo dengan tokoh utama KH Asad Syamsul Arifin, disokong banyak kiai senior pemimpin pesantren besar di kalangan NU dan aktivis muda NU yang berpikiran progresif dengan mengusung kredo NU kembali ke khitah 1926.