Tak Bisa Punya Tanah, Anak Kawin Campur Mengadu ke MK

Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - Seorang anak hasil kawin campur warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) asal Jepang memberikan keterangan dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) Pokok Agraria dan UU Perkawinan.

Aturan dalam kedua UU yang digugat di Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai diskriminatif lantaran mereka yang melakukan kawin campur dengan WNA tidak bisa memperoleh hak milik dan hak guna bangunan. Hal ini dinilai sebagai perlakukan diskriminatif.

Pandangan ini disampaikan saksi pemohon Alya Hiroko Uni. Alya merupakan anak kawin campur antara seorang perempuan berkewarganegaraan Indonesia dengan laki-laki berkewarganegaraan Jepang.

Keterangannya ini disampaikan dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pemohon Ike Farida menggugat Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UU PA dan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan.

Dalam agenda pemberian keterangan saksi, Alya menceritakan lahir pada 1996 dari orangtua kawin campur warga negara Indonesia dan Jepang. Hingga kini ia masih berstatus warga negara Jepang karena hukum di Indonesia mewajibkan dirinya untuk mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Tapi setelah diberi hak untuk memilih warga negara, ia pun dalam waktu dekat akan memilih untuk menjadi WNI.

"Ketika masih Sekolah Menengah Pertama, saya pernah tanya sama ibu bedanya perempuan yang kawin campur dengan perempuan yang menikah dengan WNI. Saat ibu katakan memiliki hak dan kewajiban yang sama," ujar Alya dalam sidang uji materi UU PA dan UU Perkawinan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 7 September 2015.

Belakangan ketika sudah berkuliah, Alya mulai mendengar adanya perlakuan diskriminatif yang dialaminya ibunya karena telah melakukan kawin campur. Ibu dari Alya tidak boleh memiliki tanah dan hak guna bangunan karena berstatus kawin campur. Pengembang atau developer menolak menyerahkan unit rumah karena alasan tersebut.

Menurutnya apa yang dialami oleh ibunya tidak adil. Sebab, ibunya merupakan WNI. Sementara konstitusi telah memberikan jaminan setiap orang khususnya WNI berhak atas hak milik pribadi yang tidak bisa diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun. Tapi nyatanya ibunya diperlakukan diskriminatif.

Alya memprediksi, ketika ke depannya ia melakukan kawin campur seperti ibunya. Ia juga tidak akan memiliki hak milik atas tanah dan hak guna bangunan. Apa yang dialami Alya dan keluarganya ini menurutnya bukan hanya menjadi persoalan pribadi keluarganya tapi juga menjadi permohonan dari anak-anak kawin campur.

Punya Hak

Sementara itu, Guru Besar bidang Hukum Agraria Universitas Indonesia Arie Sukanti Hutagalung, yang dihadirkan sebagai ahli pemohon, menyatakan WNI yang kawin campur boleh untuk memiliki hak milik dan Hak Guna Bangunan (HGB). Sebab hak tersebut merupakan hak yang dimiliki WNI. Sehingga walau telah menikah dengan Warga Negara Asing (WNA), negara tetap harus menjamin haknya.

Salah satunya mekanisme yang bisa ditempuh, pemerintah harus memperketat pengawasan hak milik dan HGB WNI yang melakukan kawin campur dengan WNA. Sehingga haknya sebagai WNI tidak dirugikan.

Dalam sidang tersebut, Arie mengatakan Pasal 21 UU PA mengatur soal subjek hak milik tanah harus sejalan dengan asas nasionalisme. Sehingga hanya warga negara Indonesia yang bisa memiliki hak penuh atas tanah. Hal ini untuk mengantisipasi beralihnya hak milik pada pihak yang tidak memenuhi syarat sebagai hak milik atau menjadi hak milik warga negara asing (WNA).

"Hal ini tentu secara jelas menguatkan roh pembentukan UU PA yang bertujuan untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia," ujar Arie dalam sidang uji materi UU PA dan UU Perkawinan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Lalu Ia menjelaskan, dalam perkawinan berlaku ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hukum perdata, harta kekayaan bersifat hak milik bersama karena para pemiliknya memiliki suatu hubungan.

Sehingga terjadi percampuran harta yang artinya harta yang diperoleh suami sebelum dan sepanjang perkawinan demi hukum menjadi harta istri dan sebaliknya. Atas dasar itu, Pasal 21 UU PA dianggap tepat, karena seluruh harta WNI demi hukum menjadi harta WNA.

Ia melanjutkan pada prakteknya, aturan ini memang merugikan WNI kawin campur karena menghilangkan hak konstitusional WNI untuk memiliki tanah dengan  status hak milik dan HGB.

Karena itu, jalan tengah yang bisa diambil, WNI kawin campur tetap boleh memiliki hak milik dan HGB tapi harus ada mekanisme pengawasan yang diperketat untuk mengantisipasi ketika hak milik dan HGB tersebut jatuh ke tangan asing.

Untuk diketahui, pemohon Ike Farida menggugat Pasal 21 UU PA yang mengatur hanya WNI yang dapat memiliki hak milik. Adapun WNA yang mendapatkan hak milik karena warisan tanpa wasiat harus melepaskan hak miliknya dalam jangka waktu satu tahun. Sehingga tanahnya jatuh pada negara dengan hak pihak lain. Lalu Pasal 36 UU PA mengatur HGB menjadi hak WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Lalu Pasal 29 UU Perkawinan mengatur pada waktu atau sebekum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat perkawinan dan isinya berlaku bagi pihak ketiga yang tersangkut. Adapun Pasal 35 UU Perkawinan mengatur harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama.

Laporan: Lilis Khalisotussurur