Jimly: Korupsi Bisa Dimulai dari Perencanaan APBN
Selasa, 25 Agustus 2015 - 16:54 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Jimly Asshiddiqie, satu dari 19 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjalani seleksi wawancara tahap akhir di gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2015. Dia paparkan visi dan pandangannya atas berbagai isu terkait KPK dan penyakit korupsi.
Baca Juga :
Dalam wawancara dengan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK itu, Jimly mengingatkan bahwa korupsi bisa terjadi sedari awal perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Maka perlu perhatian besar terhadap proses perencanaan anggaran belanja negara untuk mencegah kebocoran keuangan negara.
Menurutnya, selama ini perhatian publik maupun aparat penegak hukum lebih banyak tersita pada mutu pembelanjaan anggaran negara, belum pernah membicarakan mengenai mutu perencanaan.
“Planning itu bisa direkayasa. Kalau sudah menjadi undang-undang APBN seolah-olah halal. Padahal di balik itu ada yang tidak benar,” kata Jimly seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Setkab.go.id.
Jimly mengutip Prof Sumitro Djojohadikusumo, ekonom sekaligus Menteri Keuangan di era Presiden Sukarno, yang menyebut Bappenas merupakan sumber kebocoran 30 persen keuangan negara.
“Jadi kita harus memberi perhatian serius kepada planning. Sebab planning itu bisa menjadi pintu masuk mulainya niat jahat. Karena planning itu hanya dilakukan awal dan tengah tahun, semua pejabat sibuk sekali mengurus perencanaan, enggak sempat diralat. Jangan-jangan lebih banyak kejahatan terjadi di planning dibanding dispending,” kata Jimly.
Dia ditanyai anggota Pansel KPK, Betti Alisjahbana, tentang mengatasi korupsi kebijakan. Jimly menjelaskan bahwa kebijakan bisa digugat melalui uji materi atau judicial review, misalnya, undang-undang ke Mahkamah Konstitusi, sedangkan peraturan di bawah undang-undang ke Mahkamah Agung.
Menurut Jimly, ada kemungkinan orang membuat kebijakan dengan motif jahat. Untuk kasus seperti itu, bukan kebijakannya yang diadili, melainkan motif atau maksud jahatnya. (ren)