Jokowi Diminta Serius Revisi Aturan Penyiaran
Senin, 24 Agustus 2015 - 17:08 WIB
Sumber :
- iStock
VIVA.co.id - Pusat studi media dan komunikasi, Remotivi, meminta Presiden Joko Widodo serius mendukung revisi Undang-Undang Penyiaran. Agar hak-hak publik atas tayangan dan informasi yang berkualitas terjamin.
Direktur Remotivi, Muhamad Heychael, mengatakan setidaknya ada enam isu besar yang menjadi pembahasan dan membutuhkan dukungan pemerintah juga DPR. Pertama adalah penguatan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia).
"Tayangan penuh kekerasan, eksploitasi tubuh perempuan, horor, dan mistik yang mencederai akal sehat publik bisa terus tayang karena fungsi KPI sebagai regulator penyiaran tidak berjalan maksimal," ujar Heychael dalam pesan tertulisnya yang diterima VIVA.co.id, Senin 24 Agustus 2015.
Kewenangan KPI sebagai regulator hanya bisa menjatuhkan sanksi administratif. Sementara sanksi denda hanya bisa diberikan pada pelanggaran tertentu, seperti penayangan iklan rokok yang menabrak aturan waktu penayangan.
"Padahal, sanksi denda bisa jadi alat intervensi industri yang digerakkan oleh logika mencari untung. Karenanya, kami menilai kategori pelanggaran untuk sanksi denda perlu diperluas," kata Heychael.
Remotivi menyebutkan pembatasan kewenangan KPI terjadi pada pemberian izin siar. Dalam hal ini, KPI hanya berwenang memberikan rekomendasi, sehingga membuat KPI 'tak bernyali' di hadapan industri penyiaran.
"Pemberian izin siar perlu dialihkan pada KPI," kata Heychael.
Isu besar lainnya adalah soal pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran. Padahal, pasal 18 UU Penyiaran Nomor 32 telah mengatur tentang pembatasan kepemilikan. Sayangnya, Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2005 malah menyatakan pembatasan hanya berlaku bagi lembaga penyiaran swasta baru yang muncul setelah aturan tersebut ditetapkan dan tidak berlaku surut. Pengecualian (bahkan) diberikan pada lembaga penyiaran yang telah mapan dan memiliki stasiun relay.
"Komitmen pemerintah pada demokratisasi penyiaran perlu ditunjukkan dengan koreksi atas aturan semacam ini, terlebih hal ini secara khusus tertuang dalam Nawacita Jokowi-JK," ucap Heychael.
Adapun empat poin lainnya adalah; sistem stasiun jaringan, penguatan televisi publik, lembaga penyiaran komunitas, dan digitalisasi.
Enam hal tersebut merupakan pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi untuk segera ditindaklanjuti. Sebab, sebagai presiden, Jokowi bisa menggunakan kewenangannya untuk memperbaiki wajah penyiaran selama ini.
Tak hanya regulasi yang menjadikan KPI tak bertaji. Koordinator riset dan media remotivi, Yovantra Arief mengatakan, dalam pengamatannya selama 22 bulan terakhir KPI bahkan tidak menerapkan sanksi bertingkat terhadap stasiun televisi yang melanggar aturan P3 SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran).
"KPI hanya mengulang-ulang sanksi pada tayangan yang telah berkali-kali melanggar, meski sebenarnya ia bisa memberikan sanksi yang lebih berat," ujarnya.
Menurut Yovantra, Jokowi selayaknya bisa memastikan KPI untuk bekerja maksimal. Jokowi bahan perlu menunjukkan keseriusannya dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan cita-cita demokratisasi penyiaran.
"Penghargaan Bintang Mahaputra kepada Surya Paloh sebagai tokoh pers nasional misalnya, telah mengingkari cita-cita ini. Surya Paloh adalah pemilik media yang menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan politiknya. Lebih dari itu, ia juga memiliki reputasi memecat wartawan secara sewenang-wenang. Memberikan penghargaan kepada sosok yang tidak tepat justru akan membuat keinginan Jokowi ibarat memercik air ke muka sendiri," ucap Yovantra.
Hari Televisi Nasional diperingati setiap 24 Agustus. Tanggal itu dipilih bersamaan dengan lahirnya televisi pertama di Indonesia, yakni TVRI. MMeski begitu, di hari itu menjadi peringatan pentig bagi seluruh stasiun televisi di Indonesia. Apalagi, dua stasiun televisi swasta lain juga berulang tahun di hari yang sama, yaitu RCTI dan SCTV. (ren)
Baca Juga :
Direktur Remotivi, Muhamad Heychael, mengatakan setidaknya ada enam isu besar yang menjadi pembahasan dan membutuhkan dukungan pemerintah juga DPR. Pertama adalah penguatan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia).
"Tayangan penuh kekerasan, eksploitasi tubuh perempuan, horor, dan mistik yang mencederai akal sehat publik bisa terus tayang karena fungsi KPI sebagai regulator penyiaran tidak berjalan maksimal," ujar Heychael dalam pesan tertulisnya yang diterima VIVA.co.id, Senin 24 Agustus 2015.
Kewenangan KPI sebagai regulator hanya bisa menjatuhkan sanksi administratif. Sementara sanksi denda hanya bisa diberikan pada pelanggaran tertentu, seperti penayangan iklan rokok yang menabrak aturan waktu penayangan.
"Padahal, sanksi denda bisa jadi alat intervensi industri yang digerakkan oleh logika mencari untung. Karenanya, kami menilai kategori pelanggaran untuk sanksi denda perlu diperluas," kata Heychael.
Remotivi menyebutkan pembatasan kewenangan KPI terjadi pada pemberian izin siar. Dalam hal ini, KPI hanya berwenang memberikan rekomendasi, sehingga membuat KPI 'tak bernyali' di hadapan industri penyiaran.
"Pemberian izin siar perlu dialihkan pada KPI," kata Heychael.
Isu besar lainnya adalah soal pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran. Padahal, pasal 18 UU Penyiaran Nomor 32 telah mengatur tentang pembatasan kepemilikan. Sayangnya, Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2005 malah menyatakan pembatasan hanya berlaku bagi lembaga penyiaran swasta baru yang muncul setelah aturan tersebut ditetapkan dan tidak berlaku surut. Pengecualian (bahkan) diberikan pada lembaga penyiaran yang telah mapan dan memiliki stasiun relay.
"Komitmen pemerintah pada demokratisasi penyiaran perlu ditunjukkan dengan koreksi atas aturan semacam ini, terlebih hal ini secara khusus tertuang dalam Nawacita Jokowi-JK," ucap Heychael.
Adapun empat poin lainnya adalah; sistem stasiun jaringan, penguatan televisi publik, lembaga penyiaran komunitas, dan digitalisasi.
Enam hal tersebut merupakan pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi untuk segera ditindaklanjuti. Sebab, sebagai presiden, Jokowi bisa menggunakan kewenangannya untuk memperbaiki wajah penyiaran selama ini.
Tak hanya regulasi yang menjadikan KPI tak bertaji. Koordinator riset dan media remotivi, Yovantra Arief mengatakan, dalam pengamatannya selama 22 bulan terakhir KPI bahkan tidak menerapkan sanksi bertingkat terhadap stasiun televisi yang melanggar aturan P3 SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran).
"KPI hanya mengulang-ulang sanksi pada tayangan yang telah berkali-kali melanggar, meski sebenarnya ia bisa memberikan sanksi yang lebih berat," ujarnya.
Menurut Yovantra, Jokowi selayaknya bisa memastikan KPI untuk bekerja maksimal. Jokowi bahan perlu menunjukkan keseriusannya dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan cita-cita demokratisasi penyiaran.
"Penghargaan Bintang Mahaputra kepada Surya Paloh sebagai tokoh pers nasional misalnya, telah mengingkari cita-cita ini. Surya Paloh adalah pemilik media yang menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan politiknya. Lebih dari itu, ia juga memiliki reputasi memecat wartawan secara sewenang-wenang. Memberikan penghargaan kepada sosok yang tidak tepat justru akan membuat keinginan Jokowi ibarat memercik air ke muka sendiri," ucap Yovantra.
Hari Televisi Nasional diperingati setiap 24 Agustus. Tanggal itu dipilih bersamaan dengan lahirnya televisi pertama di Indonesia, yakni TVRI. MMeski begitu, di hari itu menjadi peringatan pentig bagi seluruh stasiun televisi di Indonesia. Apalagi, dua stasiun televisi swasta lain juga berulang tahun di hari yang sama, yaitu RCTI dan SCTV. (ren)