Pasangan Ini Puluhan Tahun Menjahit Bendera Merah Putih

Sabarudin dan Rumani, pasangan penjahit bendera.
Sumber :
  • VIVA/Dyah Ayu Pitaloka (Malang)

VIVA.co.id - Pasangan suami istri Sabarudin (80 tahun) dan Rumani (73), warga Jalan Letjen Sungkono Gg 6C RT 04/RW 01 nomor 29, Kelurahan Buring, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, menghidupi keluarganya dari menjahit. Mereka menjahit berbagai pesanan yang masuk, di antaranya bendera merah putih, sejak masih berusia muda.

“Seingat saya, saya sudah mulai menjahit bendera sejak kecil. Selang beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, saya sudah ikut membuat bendera. Tapi, dulu dengan ndondomi (menjahit tanpa menggunakan mesin),” kata Sabarudin, Minggu 16 Agustus 2015.

Dia mengaku, dengan benang dan jarum di tangannya, dulu ia bisa menghasilkan empat hingga lima bendera. Keadaan menurutnya menjadi lebih baik sejak 1951. Kala itu, pria dengan 10 anak dan 18 cucu itu sudah memiliki mesin jahit yang diputar dengan engkol, tanpa pakai pedal di kaki.

Mesin jahit pertamanya bermerek Singer. Sabarudin membelinya dari pasar loak di Comboran, Kota Malang. Tahun 1955, ketika Indonesia melangsungkan Pemilu pertama, Sabarudin juga merasakan dampak yang tetap dikenangnya hingga saat ini.

Baca juga:

“Waktu Pemilu pertama itu, saya sudah punya mesin jahit. Pesanan bendera sangat banyak, saya juga bisa bikin banyak pakai mesin engkol,” katanya.

Kala itu, Sabarudin juga memasarkan produk jahitannya dari satu pasar ke pasar yang lain. Menggunakan sepeda ontel, Sabarudin giat memeras keringat demi memenuhi pesanan jahitan bendera.

Waktu berlalu, dan Sabarudin, yang menikah dengan anak majikannya, Rumani, tetap setia dengan profesinya. Beberapa anak Sabarudin juga banyak yang mengikuti jejak orangtuanya. Delapan dari 10 anaknya,  walaupun memiliki pekerjaan lain untuk menyambung hidup, juga memiliki kerja sambilan sebagai penjahit.

***

Di usia yang tak lagi muda, Sabarudin dan Rumani tetap banyak dipercaya pelanggan. Meskipun tak lagi punya teman sejawat yang setia menjahit, namun pelanggan Sabarudin di masa lalu tetap berdatangan ke tempatnya, jika membutuhkan produk jahitan rumahan, seperti bendera atau umbul-umbul merah putih.

Rumah mereka pun penuh dengan aneka bahan setengah jadi, pesanan dari pihak lain, atau bahan kain mentah yang akan dijahit menjadi bendera.

“Teman seusia saya sudah tidak ada umur (meninggal). Saya juga tak kuat lagi menjahit semua. Kalau ada order, ya saya bagikan ke siapa saja yang mau ambil,” jelas Sabarudin.

Saat diwawancara oleh VIVA.co.id, Sabarudin terlihat duduk bersimpuh di atas lantai ubin rumahnya. Tangannya perlahan memotong kain merah dan putih yang telah diukur. Sementara Rumani, dengan matanya yang sudah tidak lagi bisa melihat dengan jelas, mencoba menjahit tepian bendera, tak jauh dari Sabarudin.

Nantinya, anak dan juga tetangganya akan mengambil kain dan bahan mentah itu, untuk diselesaikan menjadi sebuah bendera utuh, di kediaman masing-masing. Setidaknya ada 25 tenaga jahit yang sering mengambil orderan dari kediaman Sabarudin.

Baca juga:

Untuk setiap bendera dan umbul-umbul, ongkos jahit bervariasi, mulai dari Rp7.500 hingga Rp50 ribu, tergantung tingkat kesulitannya. Meskipun tak banyak, Sabarudin dan Rumani mengaku, tetap mendapatkan komisi sebagai pihak penerima order sekaligus pemberi garansi, jika ada barang yang rusak.

“Kalau ada yang rusak, ya kami yang ganti. Tidak banyak (keuntungannya), tapi cukup untuk beli beras dan ditabung untuk beli mesin jahit," tambah Rumani.

***

Orderan setiap Agustus, menurut mereka, selalu berlimpah. Jika di hari biasa, pasangan ini hanya menerima tiga hingga empat jahitan untuk celana atau baju, maka saat menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Indonesia, mereka bisa menyelesaikan antara satu hingga dua kodi.

Semua pesanan adalah tentang bendera merah putih dan umbul-umbul perayaan 17 Agustus. “Satu kodi itu 20 buah. Penjahitnya bisa dapat sampai Rp300 ribu kalau menyelesaikan satu kodi,” lanjut Rumani.

Ada tiga ukuran bendera yang sering dipesan pembeli. Ada ukuran jalan raya, ukuran kantor, dan yang paling besar ukuran lapangan. Harganya bervariasi, antara Rp25-60 ribu. “Ukuran jalan raya itu paling kecil, 60 cm x 90 cm,” sebut wanita yang mengaku mulai menjahit sejak berusia 15 tahun itu.

Baca juga:

Sayangnya, kondisi sekarang jauh berbeda dengan zaman dulu. Jumlah pesanan tak sebanyak dahulu, meskipun selalu tetap ada peningkatan menjelang Agustus. Menjamurnya tukang jahit dianggap sebagai satu penyebab berkurangnya pesanan.

Bahan baku kain yang mudah didapat, juga mesin jahit yang lebih banyak pilihan, membuat penjahit tak menemui banyak kesulitan ketika ingin merintis usaha.

“Disyukuri saja, pekerjaan lebih mudah karena mesin jahit sekarang bagus-bagus. Yang penting, setiap Agustus masih ada pesanan,” kata Rumani. (one)