Sejarah Yayasan Supersemar dan Kasusnya
- Buku 'Pak Harto, The Untold Stories'
VIVA.co.id - Mahkamah Agung memutuskan, Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi sebesar US$315 juta dan Rp139,2 miliar kepada Pemerintah Indonesia terkait penyelewengan dana Beasiswa Supersemar.
Jumlah tersebut bila dirupiahkan dengan kurs 1 dolar AS sebesar Rp13.500, maka uang yang harus dibayarkan mencapai Rp4,25 triliun, ditambah Rp139,2 miliar atau seluruhnya denda yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar mencapai Rp4,389 triliun.
Putusan Mahkamah Agung itu keluar atas permohonan kasasi yang diajukan Presiden RI, yang diwakili Jaksa Agung, terkait dugaan penyelewengan dana beasiswa Yayasan Supersemar.
Putusan bernomor 140PK/PDT/2015 itu rencananya akan segera dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, selaku pengadilan tingkat pertama yang mengadili kasus tersebut.
Yayasan yang didirikan Presiden RI kedua itu dinyatakan terbukti menyalahgunakan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan.
Lalu, seperti apa sejarah berdirinya Yayasan Supersemar dan bagaimana mekanisme pemberian beasiswanya?
Seperti dinukil dari situs Yayasan Supersemar, awal berdirinya yayasan ini berangkat dari pemikiran bahwa masalah pendidikan merupakan masalah bersama antara orangtua, masyarakat, dan pemerintah.
Banyak anak muda Indonesia yang memiliki kemampuan intelektual, namun kondisi ekonomi orangtuanya tidak mendukung kelangsungan pendidikan formal yang tengah dijalani anak-anaknya.
Apabila ada uluran tangan dari orang lain atau lembaga penyandang dana, maka beban dari orangtua dan negara akan terbantu. Sehingga, saat itu, Presiden Soeharto bermaksud mendirikan sebuah yayasan yang bertujuan untuk membantu pemerintah dalam upaya mengatasi masalah dunia pendidikan. Maka, pada tanggal 16 Mei 1974, Soeharto mendirikan Yayasan Supersemar.
Mengapa Supersemar?
Dipilihnya nama Supersemar, bukan tanpa alasan. Di hadapan para rektor di Bina Graha, tanggal 27 Juli 1974, Soeharto menjelaskan bahwa Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966) mempunyai arti penting di dalam proses tegaknya Orde Baru.
Orde yang diklaim melaksanakan koreksi total terhadap kesalahan di masa lalu dan seterusnya bertekad melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen; yang berarti pula suatu perjuangan yang tidak kecil dalam upaya meningkatkan kecerdasan rakyat Indonesia.
Digunakannya gambar Semar sebagai latar belakang surat-surat Yayasan Supersemar juga tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan yayasan ini. Sebab, Semar yang kita kenal sebagai punakawan di dunia wayang adalah pengejawantahan dari Batara Ismaya.
Ada pun tugasnya adalah mengasuh para ksatria yang berbudi luhur dan mengantarkan pada perwujudan cita-cita. Mengambil hikmah dari dua hal tersebut, Yayasan Supersemar diharapkan mampu menyumbangkan darmanya kepada bangsa dan negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kehadiran Yayasan Supersemar disambut hangat. Para pengusaha dan dermawan menyisihkan sebagian keuntungan dari hasil usahanya untuk disalurkan ke Yayasan Supersemar.
Dalam tempo singkat, dana sudah terkumpul Rp1 miliar. Saat itulah, Soeharto mengundang para rektor perguruan tinggi negeri di Jakarta untuk membahas pelaksanaan beasiswa Yayasan Supersemar.
Siapa penerima beasiswa?
Awal tahun akademi 1975, Yayasan Supersemar pertama kalinya memberikan beasiswa kepada 3.135 mahasiswa perguruan tinggi negeri di lingkungan Depdikbud. Saat itu ada dua rayon. Rayon A dengan uang beasiswa Rp 15 ribu per bulan bagi mahasiswa di Jakarta, selebihnya termasuk Rayon B dengan uang beasiswa Rp12.500 per bulan.
Tahun 1976 dimulai memberikan beasiswa kepada siswa SMTA kejuruan negeri. Pertama kali mendapat kesempatan menerima adalah siswa STM negeri sebanyak 667 dengan uang beasiswa lima ribu lima ratus dan enam ribu rupiah perbulan untuk setiap siswa.
Tahun 1978, IAIN untuk pertama kalinya mendapatkan beasiswa Supersemar. Pada tahun-tahun berikutnya, Yayasan Supersemar berangsur-angsur menambah jumlah pemberian beasiswanya baik dalam jumlah uang maupun penerimanya.
Di samping itu, ada beberapa pemberian beasiswa Supersemar sebagai partisipasi Yayasan Supersemar dalam menyukseskan program-program Pemerintah. Misalnya, bantuan bagi olahragawan berprestasi dan pembinanya melalui KONI, beasiswa untuk anak peserta KB Lestari bagi program Keluarga Berencana, paket bantuan anak asuh untuk program wajib belajar pendidikan dasar, dan beasiswa bagi anak pengamat gunung api dalam rangka peningkatan kesejahteraan petugas di daerah terpencil.
Sebagai partisipasi Yayasan terhadap beberapa instansi lain, direalisasi beasiswa yang bersifat khusus untuk putra-putra anggota LVRI dan Pepabri. Pemberian beasiswa kepada anak veteran dan anak-anak berkebutuhan khusus. Juga diberikan jatah beasiswa kepada Perguruan Tamansiswa dan Perguruan Muhammadiyah melalui pimpinan pusatnya.
Sejak berdiri hingga sekarang, Yayasan Supersemar sudah memberikan bantuan kepada jutaan penerima beasiswa. Baik siswa SD hingga SMA, mahasiswa, dan para peneliti yang menjalani studi pascasarjana. Para guru, pelatih, dan olahragawan.
Sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta juga banyak yang telah menerima bantuan sarana pendidikan berupa komputer dan perlengkapan laboratorium bahasa/biologi/teknik.
Awal kasus
Yayasan milik Soeharto itu dinyatakan terbukti menyalahgunakan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan.
Dana Yayasan Supersemar ini salah satu sumbernya berasal dari Badan Usaha Milik Negara, sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1976 yang menyatakan agar BUMN menyisihkan lima persen dari laba bersih untuk Yayasan Supersemar.
Sejak 1976 hingga Soeharto lengser, Yayasan Supersemar mendapatkan uang sebesar US$420 juta dan Rp185 miliar. Namun dalam perjalanannya, dana tersebut diduga diselewengkan. Negara, yang diwakili Kejaksaan Agung pun menggugat Yayasan Supersemar, karena telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Saat mengajukan gugatan pertama, Juli 2007 silam, Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara Dachmer Munthe menyatakan, dana dari BUMN yang dikumpulkan yayasan tersebut seharusnya ditujukan untuk membiayai pendidikan pelajar dan mahasiswa kurang mampu.
Namun, Kejaksaan menemukan hanya 2,5 persen laba bersih BUMN masuk ke yayasan, sedangkan 2,5 persen lainnya masuk ke pihak lain. Penyelewengan dana yayasan di antaranya mengalir ke beberapa perusahaan antara lain PT Bank Duta US$420 juta pada 22 September 1990. Kemudian PT Sempati Air Rp 13,173 miliar pada 23 September 1989 hingga 17 November 1997, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp150 miliar.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Maret 2008 menyatakan, Yayasan Supersemar bersalah karena menyalahgunakan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan. Hakim menetapkan Yayasan harus membayar US$105 juta dan Rp46 miliar kepada negara. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 19 Februari 2009.
Merasa belum puas dengan putusan tersebut, Kejaksaan kemudian mengajukan kasasi. Dalam putusan yang diketok pada 28 Oktober 2010 itu, Majelis Kasasi MA memerintahkan Yayasan Supersemar tetap membayar uang denda dalam dua bentuk mata uang, yakni dolar AS dan rupiah.
Salah ketik
Putusan tersebut sempat kontroversial karena terjadi salah ketik nominal angka ganti rugi yang harus dibayarkan tergugat. Di bagian rupiah, seharusnya Supersemar membayar 75 persen dari Rp185.918.048.904,75 (Rp185,9 miliar). Tapi, ada tiga angka yang tidak dituliskan majelis kasasi, yaitu angka '048.' Akibatnya, nominal yang harus dibayar Yayasan Supersemar pun salah.
Padahal, apabila pengutipan angka benar, jumlah yang harus dibayar oleh Supersemar adalah Rp139,2 miliar. Sedangkan di bagian mata uang dolar, putusan sudah tepat. Di mana Yayasan Supersemar harus membayar 75 persen dari US$420.002.910. Sehingga total, yayasan milik keluarga Cendana itu seharusnya membayar US$315.002.183 dan Rp139,2 miliar ke negara.
MA menilai, Yayasan Supersemar menyelewengkan dana hibah yang mereka terima dengan mengalirkannya ke sejumlah perusahaan. Padahal, yayasan ini seharusnya menyalurkan uang-uang itu dalam bentuk beasiswa bagi pelajar pintar tapi tak mampu.
Putusan atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung RI ini sebenarnya hanya memperbaiki kesalahan ketik nominal angka ganti rugi yang harus dibayar Yayasan Supersemar. Selebihnya, MA menegaskan bahwa pertimbangan dan amar putusan itu sudah tepat.
Penerima beasiswa patungan?
Usai putusan MA, anggota keluarga Cendana, Hutomo Madala Putra alias Tommy Soeharto terus menyampaikan pernyataannya lewat akun sosial Twitter dan Facebook.
"Berarti lulusan terbaik penerima beasiswa sejak tahun 70 harus urunan nih, hitung-hitung untuk tambah biaya kampanye yang akan datang. #carimodal?" tulis putra bungsu Soeharto itu melalui akun Facebooknya, Hutomo Mandala Putra.
Dalam kicauan di Twitter pada Selasa 11 Agustus 2015, Tommy mengatakan: "Penerima Beasiswa Supersemar sepertinya siap Urunan mengembalikan biaya pendidikan mereka, Bagai Mana Dgn Penikmat BLBI? Siap apa tidak?:)"
"Bagi masyarakat yang pernah menerima beasiswa Supersemar jangan lupa permintaan rejim saat ini, siap2 urunan,mereka butuh tambahan modal,:)"
Bahkan, Tommy menyindir kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diduga merugikan negara hingga Rp138 triliun, yang hingga kini belum diungkap oleh lembaga penegak hukum. Serta pemberian dana talangan Bank Century yang diduga merugikan negara Rp6,7 triliun.
"BLBI = Bingung Lihat Bos Indonesia"
"BLBI = Baru Lupa Baru Ingat"
"BLBI + Century kira2 berapa duit totalnya? :)" tulis Tommy.
(mus)