NU: BPJS Kesehatan Tak Haram, Bahkan Bermanfaat
Selasa, 4 Agustus 2015 - 21:32 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Syaiful Arif
VIVA.co.id - Nahdlatul Ulama (NU) membahas hukum tentang program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, Selasa, 4 Agustus 2015.
Persoalan itu dibahas dalam Komisi Waqiiyah untuk merespons fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan BPJS Kesehatan tak sesuai syariat Islam. Fatwa itu kemudian berkembang seolah BPJS Kesehatan haram karena mekanismenya tak sesuai hukum Islam.
Menurut NU, program BPJS Kesehatan tidak haram. Alasannya, perjanjian premi BPJS menggunakan bank konvensional yang hukumnya ikhtilaf (ada beberapa catatan dan pendapat), haram, subhat dan mubah.
"Almarhum Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sudah pernah membahas soal bank konvensional secara khusus yang dihukumi ikhtilaf. Apalagi mayoritas nahdliyin (warga NU) kurang terikat dengan hukum syar’i (syariat Islam), dan kalau dipaksakan tidak baik bagi NU," kata Sekretaris Komisi Waqi’iyah, Abdul Ghofur di lokasi Muktamar.
"MUI cenderung menghukumi BPJS haram itu wajar, lantaran MUI punya semangat menggalakkan umat Islam di Indonesia menggunakan Bank Muamalat yang sudah menggunakan hukum syar’i,” ujar Wakil Rais Syuriah NU Jawa Tengah itu menambahkan.
Prinsipnya, kata Ghofur, NU lebih mengedepankan keadilan dan kemanfaatan. Artinya, jaminan kesehatan bagi seluruh warga negara sangat dibutuhkan. Namun jika ada orang yang tak mampu membayar, negara wajib memberikan subsidi atau menanggung penuh. Begitu juga soal denda BPJS Kesehatan, NU memandang hal itu merupakan bagian dari takzir yang dibolehkan untuk kepentingan umum.
Janji politik
Dalam kesempatan itu, NU juga membahas hukum tentang perubahan sistem pemilu di Indonesia dengan cara pemilihan langsung yang dinilai berdampak buruk. Misalnya, mengumbar janji palsu demi mendapatkan dukungan pemilih.
Menurut Ghofur, calon pemimpin yang mengikuti Pemilu dilarang atau haram menjanjikan sesuatu kepada pemilih. Soalnya itu masuk kategori riswah atau sogokan atau suap kepada perorangan atau kelompok.
"Pemberi dan penerima janji hukumnya haram, sebab janji politik itu saja sudah dihukumi haram," ujarnya.
Jika janji politik itu sesuai kewenangan jabatan yang akan diraih oleh calon pemimpin dan bisa adil, itu dibolehkan. Masalahnya ditemukan banyak janji politik yang diungkapkan oleh pejabat yang tak memiliki kewenangan.
"Masa calon anggota legislatif menjanjikan akan membangun jalan. Padahal yang bisa membangun jalan adalah pemerintah melalui dinas terkait yang dibiayai APBD. Itu contoh sebagian janji politik yang diharamkan," katanya menambahkan.
Baca Juga :
Pijakan hukum pengharaman janji politik mengacu Al Quran, tafsir Al Baghowi, tafsir Ibnu Katsir, kitab fikih Fathul Muin dan lain-lain.
(mus)
Baca Juga :