Hentikan Kasus Sarpin, Kapolri Tunggu Mediasi
Jumat, 24 Juli 2015 - 17:22 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA.co.id - Kapolri Jenderal Badrodin Haiti masih memberi kesempatan kepada Sarpin dan dua pejabat Komisi Yudisial untuk menyelesaikan perselisihannya secara kekeluargaan. Ruang juga masih terbuka bagi pemerintah yang dalam hal ini Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno yang berencana melakukan mediasi dengan dua pihak tersebut.
"Kan, begini, kita, kan, memberikan ruang untuk siapapun untuk memediasi yang bersangkutan, supaya kasus ini bisa dihentikan. Polisi, tanpa ada pencabutan tidak bisa menghentikan kasus ini. Karena memang itu dipersyaratkan KUHAP," tegasnya.
Polri, kata Badrodin, masih memberikan peluang kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang juga berencana melakukan mediasi.
"Menkopolhukam memediasi ini kan belum selesai, kita tunggu saja hasilnya. Dan Kompolnas juga akan memediasi, silakan saja," kata Badrodin di komplek Mabes Polri, Jakarta, Jumat, 24 Juli 2015.
Hasil mediasi akan menjadi rujukan bagi kepolisian terkait penanganan kasus tersebut. Sebab, kata Badrodin, kesepakatan dua pihak yang berseteru bisa ditindaklanjuti dengan pencabutan laporan, baik oleh pelapor maupun terlapor.
Ketua Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki, dan Komisioner KY, Taufiequrrahman Syahuri, dilaporkan Sarpin Rizaldi pada 18 Maret 2015, teregister dengan LP/335/III/2015/Bareskrim.
Sarpin melaporkan keduanya yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Padahal, tugas Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 menyatakan, "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim."
Kasus tersebut bahkan menuai respon dari publik. Salah satunya dari Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Lintas Angkatan yang menggalang petisi dukungan penyelesaian kasus secara non yudisial.
"Sebagai komponen bangsa yang semakin dewasa, ada baiknya para pejabat dan penyelenggara mawas diri, siap dikoreksi, dan siap dikritik oleh anggota masyarakat, media massa ataupun oleh rekan sejawat sesama pejabat negara," ucap Agus Santoso, alumnus fakultas hukum Universitas Padjadjaran angkatan 1979 yang ikut menandatangani petisi, Kamis 16 Juli 2015. (one)
"Kan, begini, kita, kan, memberikan ruang untuk siapapun untuk memediasi yang bersangkutan, supaya kasus ini bisa dihentikan. Polisi, tanpa ada pencabutan tidak bisa menghentikan kasus ini. Karena memang itu dipersyaratkan KUHAP," tegasnya.
Polri, kata Badrodin, masih memberikan peluang kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang juga berencana melakukan mediasi.
"Menkopolhukam memediasi ini kan belum selesai, kita tunggu saja hasilnya. Dan Kompolnas juga akan memediasi, silakan saja," kata Badrodin di komplek Mabes Polri, Jakarta, Jumat, 24 Juli 2015.
Hasil mediasi akan menjadi rujukan bagi kepolisian terkait penanganan kasus tersebut. Sebab, kata Badrodin, kesepakatan dua pihak yang berseteru bisa ditindaklanjuti dengan pencabutan laporan, baik oleh pelapor maupun terlapor.
Ketua Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki, dan Komisioner KY, Taufiequrrahman Syahuri, dilaporkan Sarpin Rizaldi pada 18 Maret 2015, teregister dengan LP/335/III/2015/Bareskrim.
Sarpin melaporkan keduanya yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Padahal, tugas Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 menyatakan, "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim."
Kasus tersebut bahkan menuai respon dari publik. Salah satunya dari Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Lintas Angkatan yang menggalang petisi dukungan penyelesaian kasus secara non yudisial.
"Sebagai komponen bangsa yang semakin dewasa, ada baiknya para pejabat dan penyelenggara mawas diri, siap dikoreksi, dan siap dikritik oleh anggota masyarakat, media massa ataupun oleh rekan sejawat sesama pejabat negara," ucap Agus Santoso, alumnus fakultas hukum Universitas Padjadjaran angkatan 1979 yang ikut menandatangani petisi, Kamis 16 Juli 2015. (one)