Bupati Morotai Bantah Pernah Transfer Uang ke Akil Mochtar
- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id - Bupati Morotai, Rusli Sibua telah selesai menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan sengketa Pilkada Morotai di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2011.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) yang datang ke gedung KPK usai dijemput paksa siang tadi diperiksa selama kurang lebih enam jam dan dicecar 17 pertanyaan oleh penyidik KPK.
Dalam pemeriksaan, Rusli menyangkal mengenal mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar apalagi memerintahkan mentransfer uang seperti yang dituduhkan padanya.
"Dia (RS) tidak mengenal Akil, baru tahu ketika di MK bahwa pak Akil adalah hakim Mahkamah konstitusi. Dia juga tidak pernah menyuruh siapapun untuk mentransfer uang ke Akil Mochtar," kata pengacara Rusli, Achmad Rifai di gedung KPK, rabu 8 Juli 2015.
Menurut Rifai, kliennya tak pernah menyuruh mentransfer uang kepada Akil lantaran yakin memenangi Pilkada tahun 2011 di Morotai.
"Dia yakin menang karena meraih 11.000 suara, sedangkan pemenang kedua 7000. Sehingga tidak pernah mentransfer," tambahnya.
Diketahui, nama-nama seperti Syahrin Hamid yang merupakan salah satu pengacara Rusli dalam kasus sengketa Pilkada Kepulauan Morotai, Politikis senior PAN Maluku Utara sekaligus Direktur Utama PT Manggala Rimba Sejahtera, Muchammad Djuffry, Mantan PLT ketua KPUD maluku utara Muchlis dan Pengusaha sekaligus teman Djufry, Petrus Sidarto diduga mentransfer sejumlah uang kepada Akil untuk memenangkan Rusli dalam sengketa Pilkada Pulai Morotai di MK tahun 2011.
Namun Rifai menegaskan jika KPK seharusnya juga menelusuri keterlibatan mereka dalam kasus ini.
"Dimana-mana orang yang sudah mentransfer yang dijadikan tersangka. Ini tidak pernah mentransfer dijadikan tersangka. Pak Rusli tidak pernah menyuruh mentransfer sejumlah uang," ujar dia.
KPK resmi menetapkan Bupati Pulau Morotai, Rusli Sibua sebagai tersangka kasus dugaan pemberian suap terhadap hakim Mahkamah Konstitusi.
Dalam amar putusan M Akil Mochtar, tertuang uang suap yang diberikan Rusli Sibua sebesar Rp2,989 miliar.
Suap bermula kala sengketa pilkada Kabupaten Pulau Morotai ini diajukan pasangan Rusli Sibua-Weni R Paraisu jelang akhir Mei 2011. Setelah itu, Rusli bertemu dengan Syahrin Hamid yang merupakan salah satu kuasa hukumnya. Dalam pertemuan itu Syahrin menyampaikan permintaan Akil agar disediakan uang Rp 6 Miliar bila ingin gugatan Rusli dikabulkan MK. Namun, Rusli hanya menyanggupi Rp 3 Miliar.
Untuk memenuhi permintaan Akil dan kesanggupan Rusli, Syahrin bertemu dengan politikus senior PAN Maluku Utara sekaligus Direktur Utama PT Manggala Rimba Sejahtera Muchammad Djuffry dan mantan PLT Ketua KPUD Malut Muchlis di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Juni 2011.
Ketiganya kemudian pindah ke Hotel Borobudur. Dalam pertemuan tersebut, Syahrin minta bantuan dana Rp 3 Miliar. Setelah pertemuan dengan Syahrin di Borobudur, Djuffry menghubungi temannya bernama Petrus Sidarto, seorang penguasaha di Jakarta untuk meminjam uang.
Petrus sendiri sebelumnya sudah mengenal Rusli dan meminjamkan uang kala kampanye. Singkat cerita, Petrus meminta Djuffry agar bertemu lagi pada 15 Juni di Bank Jasa, Jakarta.
Dalam pertemuan di Bank Jasa itu, Djuffry hadir bersama Muchlis dan kader PAN Malut Baharul Alkarim. Petrus pun langsung menyerahkan cek sebesar Rp2 Miliar kepada Djuffry. Cek itu kemudian ditukarkan ke bentuk dollar di bank yang sama.
Satu hari berselang atau 16 Juni 2011 Djuffry dan Muchlis menerima lagi uang Rp1 miliar dalam pecahan rupiah dari Petrus. Uang Rp1 Miliar (pecahan rupiah) itu kemudian dikirim Djuffry dan Muchlis masing-masing pecahan Rp500 juta. Di slip penyetoran dituliskan untuk pembelian alat perkebunan seperti permintaan Akil lewat Syahrin.
Sementara uang Rp2 miliar yang sudah dikonversikan ke mata uang Dolar diminta oleh Syahrin untuk ditransfer di BCA Tebet, Jakarta Selatan. 20 Juni 2011 Muchlis dan Djuffry mentransfer ke rekening CV Ratu Samagad. Menurut catatan BCA Tebet, uang dalam bentuk dollar itu setelah dikonversi jumlah totalnya Rp1,989 miliar.
Atas perbuatannya itu, Rusli disangka telah melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Laporan: Diantywinda