Malaysia Sudah Terang-terangan Melanggar Batas RI

Empat Jet Sukhoi Siap Usir Pesawat Asing Masuk Ambalat
Sumber :
  • Muhammad Tahir/Tarakan
VIVA.co.id
- Malaysia kembali berulah. Sebuah helikopter milik negara Jiran itu dilaporkan terbang tanpa izin dan melintasi wilayah Indonesia pada Minggu pagi, 28 Juni 2015. Helikopter itu bahkan mendarat di Kecamatan Sebatik, Kalimantan Utara.


Helikopter sipil jenis Bell 9M-YMH itu mendarat di helipad milik Pos Komando Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) 512/Dadaha Yudha, yang menggantikan Satgas Pamtas 433/Julu Siri, di Sebatik.


Helikopter itu dilaporkan tampak berputar-putar tiga kali di atas wilayah Sebatik Tengah dan Sebatik Utara. Heli semula akan mendarat di sebuah pematang sawah di wilayah Sebatik, Malaysia. Namun helipad yang disiapkan tidak bisa digunakan karena hujan deras pada malam sebelum helikopter mendarat.


Heli berisi Menteri Malaysia


Pemerintah Indonesia telah memastikan kebenaran informasi pelanggaran batas itu tetapi belum ada data terperinci tentangnya, kecuali informasi yang dipublikasikan sejumlah media massa. Kementerian Luar Negeri berencana meminta konfirmasi Duta Besar Malaysia di Indonesia pada Selasa, 30 Juni 2015.


Kementerian Luar Negeri mengaku belum menerima notifikasi dari TNI mengenai aksi pendaratan helikopter itu. Notifikasi dan data pendukung sangat dibutuhkan jika ingin mengajukan nota protes kepada pemerintah Malaysia.


"Sejauh ini, Kemlu masih berkoordinasi dengan Mabes TNI dan TNI Angkatan Udara untuk memperoleh data resmi dan lengkap mendaratnya helikopter Malaysia," kata Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan Kemlu, Octavino Alimudin, melalui pesan singkat kepada VIVA.co.id, Selasa, 30 Juni 2015.


Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Fuad Basya, menyebutkan bahwa helikopter itu milik Sabah Air Aviation Bell 9M-YMH. Heli terbang dan mendarat tanpa izin di wilayah Indonesia di Sebatik. Heli mendarat kurang tiga menit dan segera terbang setelah dihampiri prajurit TNI yang bertugas di wilayah itu.


Menurut Fuad, helikopter itu berisi lima orang, termasuk pilot dan kopilot. Satu orang di antaranya adalah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Malaysia. Menteri itu dikabarkan akan meresmikan sebuah proyek di wilayah Sebatik Malaysia yang berbatasan dengan Indonesia.


Helikopter itu, Fuad menambahkan, tak terdeteksi radar Indonesia karena terbang rendah. Dia memperkirakan helikopter itu terbang rendah karena hanya akan mengantar Mendagri Malaysia ke lokasi peresmian proyek.


Kesekian kali


Insiden pelanggaran batas itu bukan kali pertama. Entah sudah keberapa kali sejak Indonesia bertetangga dengan Malaysia. Pangkalan Udara (Lanud) TNI di Tarakan, Kalimantan Utara, saja mencatat sedikitnya sembilan pesawat sipil dan militer Malaysia tertangkap radar menerobos wilayah Indonesia di Ambalat hanya dalam waktu lima bulan, yakni Januari sampai Mei 2015.


Menurut Komandan Lanud Tarakan, Letnan Kolonel (Pnb) Tiopan Hutapea, modus pelanggaran batas itu beragam: ada yang sengaja melintas dengan alasan patroli dan ada juga yang melenceng dari jalur seharusnya kemudian dibelokan ke Ambalat.


TNI Angkatan Udara selalu menghalau pesawat-pesawat asing yang masuk tanpa izin ke wilayah Indonesia. Biasanya segera dikerahkan pesawat tempur Sukhoi atau F-16.


Namun, biasanya juga, sehari tak dipatroli dengan pesawat tempur, pesawat asing milik negara tetangga kembali mengudara di Ambalat. Kurangnya pesawat intai di Tarakan menjadi salah satu hal yang membuat TNI tidak bisa bertindak cepat saat negara tetangga sudah mulai memasuki kawasan terlarang.


Masalah lain adalah keterbatasan pesawat tempur TNI yang bisa secepatnya dikerahkan untuk menindak pelanggaran-pelanggaran seperti itu. Pesawat-pesawat tempur TNI di Lanud Iswahyudi Madiun dan Lanud Sultan Hasanuddin Makassar. Jarak masing-masing lanud rata-rata cukup jauh dengan kawasan yang sering terjadi pelanggaran batas, misalnya, di Ambalat atau Sebatik. Butuh waktu 20-30 menit bagi sebuah jet tempur untuk sampai ke lokasi itu.


Protes diabaikan

Kementerian Luar Negeri menyatakan telah mengirim sedikitnya tujuh nota protes kepada Malaysia. Namun protes itu bukan atas pelanggaran di wilayah Ambalat, melainkan pelanggaran di atas area Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Nota itu dibuat atas pelanggaran pada periode Januari hingga April 2015.

Namun, dari tujuh nota protes, baru dua nota yang benar-benar dikirimkan kepada Malaysia. Sisa lima lainnya masih menunggu kelengkapan data. Hingga Kamis, 25 Juni 2015, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah Malaysia.

Menurut Octavino Alimudin, penyebab Malaysia belum merespons dua nota protes Indonesia, kemungkinan karena harus memverifikasi mengenai pelanggaran itu. "Mereka perlu verifikasi untuk bisa menjawab apakah klaim Indonesia benar atau keliru," katanya.

Dibandingkan dengan negara tetangga lain, Indonesia paling banyak bersinggungan terkait sengketa wilayah perbatasan dengan Malaysia. Octavino menjelaskan terdapat lima segmen dengan Malaysia, yakni Selat Malaka, Selat Singapura, sebagian timur antara Bintan dan Johor, perbatasan di Laut Tiongkok Selatan (LTS), khususnya perairan Tanjung Datu, Kalimantan Barat, berbatasan dengan Serawak dan Laut Sulawesi.


Untuk bisa menuntaskan isu perbatasan, dari bulan Januari hingga Juni, kedua negara telah melakukan pertemuan sebanyak dua kali.


"Ke depan, kami berharap bisa melanjutkan perundingan dengan Malaysia. Sebab, dalam road map yang telah disusun untuk tahun 2015, kami memiliki target untuk merampungkan perbatasan dengan Malaysia, Filipina, Vietnam, Paulau dan Timor Leste," kata Octavino.