AJI Kecam Pembatasan Akses Jurnalis Asing ke Papua
Rabu, 24 Juni 2015 - 09:02 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf
VIVA.co.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menganggap niat pemerintah untuk memberikan akses peliputan ke Papua bagi jurnalis asing tidak serius.
Sebab, untuk bisa meliput ke Papua, jurnalis-jurnalis asing itu masih harus melalui lembaga clearing house yang melibatkan 12 kementerian atau lembaga negara. Mulai dari Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN), hingga ke Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.
Demikian keterangan tertulis AJI yang diterima VIVA.co.id pada Selasa, 23 Juni 2015. Mekanisme ini dianggap AJI dianggap sebagai alat pemerintah untuk membatasi para jurnalis yang ingin melaporkan mengenai kondisi Papua secara bebas.
"Mekanisme clearing house ini tidak transparan karena memang tidak memiliki dasar hukum yang jelas," kata Ketua AJI, Suwarjono.
Sebelumnya, usai menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR pada Senin 22 Juni 2015, tiga pejabat negara menepis jurnalis asing dihalang-halangi untuk meliput di Papua.
Ketiga pejabat itu yakni, Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P Marsudi, Kepala BIN, Marciano Norman dan Panglima TNI, Jenderal Moeldoko. Ketiganya kompak satu suara mengatakan tidak ada pembatasan akses jurnalis asing di Papua yang selama ini memunculkan keresahan.
Kepada jurnalis yang mewawancarainya, Retno mengatakan izin bagi jurnalis asing tetap diberikan, walau tidak semua.
"Retno menjelaskan pada tahun 2012, dari 11 permohonan liputan, 5 disetujui. Tahun 2013, dari 28 pengajuan, 21 disetujui dan pada tahun 2014, 27 permohonan liputan, 22 disetujui," papar Suwarjono mengutip pernyataan Menlu.
Mantan Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda itu beralasan jika ada aplikasi yang ditolak, semata-mata karena alasan keamanan. Hal senanda disampaikan Kepala BIN, Marciano Norman, yang mengungkap regulasi diberlakukan bagi jurnalis asing yang ke Papua untuk menjaga keberimbangan isi pemberitaan.
Sekaligus sebagai upaya untuk menghindari penyalahgunaan izin kunjungan ke Papua yang dinilai akan merugikan Indonesia.
Panglima TNI, Jenderal Moeldoko pun berpendapat sama. Dia mengatakan pendampingan (pengawasan) TNI sebagai bentuk perlindungan bagi jurnalis tersebut.
"Pernyataan ketiga pejabat ini nyatanya bertentangan dan melawan kebijakan Presiden Joko Widodo yang sudah menyatakan akan membuka akses pers asing seluas-luasnya di Papua. Ketiga, bawahan Presiden ini tidak memahami kebebasan memperoleh informasi dan kebebasan berekspresi adalah hak setiap warga negara, termasuk warga Papua," kata Suwarjono.
Suwarjono melanjutkan, pemenuhan kedua hak asasi ini merupakan kebebasan pers. Pembatasan peliputan, terutama oleh jurnalis asing di wilayah timur Indonesia, Suwarjono menyebut, telah berlangsung sejak Papua menjadi bagian dari RI.
Salah satu upaya pembatasan yang paling jelas yaitu izin yang dikeluarkan harus diperoleh melalui clearing house tadi.
"Alasan keberimbangan yang diutarakan BIN jelas merupakan upaya untuk menutup-nutupi praktik buruk selama puluhan tahun. Penutupan akses pers telah membuat informasi beredar tanpa adanya verifikasi. Belum lagi terdapat media sosial dan internet yang bisa menyebarkan informasi ke seluruh dunia dalam hitungan menit," kata Suwarjono.
Dengan adanya pembatasan peliputan di Papua, justru informasi yang tidak terverifikasi itu tersebar ke dunia maya dan menjadi konsumsi dunia internasional.
"Kebijakan tiga pejabat ini, justru malah menyudutkan Indonesia di dunia internasional. Pembatasan kebebasan pers di Papua jelas akan membuat jalan perdamaian di Papua semakin terjal," kata Suwarjono.
Tuntutan AJI
Oleh sebab itu, selaku organisasi pers, AJI mengecam pernyataan tiga pejabat tinggi itu. Melalui keterangan tertulisnya, AJI menuntut tiga hal. Pertama, pemerintah segera membubarkan lembaga clearing house dan membuka akses seluas-luasnya bagi jurnalis asing yang ingin meliput di Papua.
Kedua, menuntut pemerintah melindungi jurnalis yang tengah bekerja dari intimidasi aparat keamanan dan pihak lain serta tidak melakukan tindakan memata-matai, meneror atau kegiatan lain yang bisa menghalangi kegiatan jurnalistik.
Baca Juga :
Ketiga, mendesak pemerintah untuk memenuhi hak publik atas informasi sesuai dengan amanat UU nomor 40 tahun 1990 mengenai pers. (ase)