Menyibak Tabir Lokasi Pembantaian Pasukan Padjajaran
- Antara/ Ismar Patrizki
VIVA.co.id - Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan mahapatihnya Gajah Mada.
Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan Kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok kecil pasukan dari Kerajaan Sunda (Padjajaran) pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana di lapangan Bubat pada abad ke 14 sekitar tahun 1360 masehi.
Pertempuran yang sangat tidak seimbang itu dimenangkan Kerajaan Majapahit.
Pasukan kerajaan Sunda dibantai habis termasuk komandan perangnya yang juga raja kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana.
Permaisuri dan puteri Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi yang sedianya akan dinikahkan dengan Raja Hayam Wuruk turut meregang nyawa dengan cara bunuh diri setelah meratapi kematian sang ayah di medan pertempuran itu.
Namun, hingga saat ini, tak ada yang tahu di mana peristiwa sejarah penting dalam perjalanan kerajaan Nusantara itu terjadi. Lokasi pertempuran dua kerajaan besar di Pulau Jawa itu tetap menjadi misteri yang belum juga terpecahkan.
Peristiwa Bubat sama sekali tidak disinggung dalam naskah Negarakretagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca yang ditulis oleh empu Prapanca sekitar tahun 1365 (satu tahun sepeninggal Gajah Mada).
Hanya disebutkan bahwa Desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan yang luas, dan raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.
"Menurut informasi, lapangan Bubat itu sekarang berada di Desa Tempuran. Tempuran yang dimaksud bukan pertemuan antara dua sungai, tetapi tempat bertempurnyya pasukan-pasukan zaman dulu," kata Arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.
Menurut Aris, bubat bisa jadi berasal dari kata "butbat"yang berarti jalan yang lega dan lapang.
Selanjutnya... Perang Tanpa Tanda Bukti
Perang Tanpa Tanda Bukti
Biasanya pada sebuah situs peperangan ditemukan benda-benda arkeologi yang bisa menjadi bukti terjadi perang. Misalnya, ditemukan tombak dan keris yang berceceran.
Namun pada peristiwa Perang Bubat ini, sangat miskin bukti arkeologi. Hingga saat ini, nyaris tak ada satupun benda peninggalan perang yang ditemukan.
Sebaliknya, peristiwa itu mendapat tempat dalam naskah-naskah kuno Sunda yang ditulis dua abad kemudian. Naskah-naskah itu antara lain Pararaton, Kidung Sunda, Carita Parahyangan, dan naskah Wangsakerta.
Bahkan menurut penuturan Zoetmulder (1974 -1985), kisah itu terdapat pula dalam Kidung Sunda naskah Bali (I Gusti Ngurah Bagus 1991).
Tempat yang banyak disebut-sebut dalam naskah kuno Sunda itu mungkin bukan terletak di Trowulan.
Berdasarkan hasil foto udara dan ekskavasi situs tersebut menunjukkan, Trowulan yang pusat kerajaan Majapahit itu memiliki banyak parit.
Maka sulit dibayangkan Prabu Hayam Wuruk datang ke lapangan Bubat untuk menghadiri upacara keagamaan dan kenegaraan dengan mengendarai kereta yang ditarik enam ekor kuda, sebagaimana diceritakan dalam naskah Negarakretagama.
Naskah yang berhasil diselamatkan saat terjadi Perang Lombok pada tahun 1894 itu tidak menyebutkan dimana letak Bubat.
Setidaknya terdapat empat naskah Sunda kuno yang menyebut peristiwa Bubat, meski dalam versi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peristiwa ini juga tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Bukan berarti peristiwa itu tidak pernah ada," kata Bernard H.M. Vlekke, Guru Besar Universitas Leiden, Belanda, penulis buku Nusantara.
Selanjutnya.. Lokasi Perang di Ibu Kota Majapahit
Lokasi Perang di Ibu Kota Majapahit
Sejarah Indonesia menyebutkan, lokasi Bubat yang diambil dari Kidung Sunda. Bubat adalah sebuah lapangan besar di sebelah utara Trowulan, Ibu Kota Majapahit.
"Menurut cerita tutur masyarakat Trowulan , kemungkinan lapangan bubat terletak di dekat kolam Segaran Majapahit , sekarang jadi perumahan dan persawahan,"ujar Dimas
Cokro Pamungkas, budayawan Trowulan yang meneliti tentang Majapahit.
Dimas menambahkan, ada versi lain lagi tentang lapangan bubat. Wilayah Bubat merupakan kota bandar yang terletak di sisi sungai besar yang letaknya tidak jauh dari Tarik.
Lapangan Bubat terletak di tepi Sungai Brantas yang palungnya membelok dari arah selatan ke utara, dan terus ke arah timur.
"Di tempat inilah kapal-kapal yang ditumpangi rombongan Prabu Linggabuana berlabuh dan kemudian membangun perkemahan di atas lapangan Bubat ," ujar Dimas.
Di bagian selatan sungai ini pernah ditemukan sisa-sisa bangunan dan bata kuno dalam jumlah cukup banyak yang berserakan di mana-mana. Tempat ini diduga sebagai lokasi pusat ibu kota Majapahit.
Di tempat ini pula terletak Dusun Medowo yang dalam naskah Negarakertagama disebut Madawapura.
Hal ini senada dengan keterangan sejarawan Ayatrohedi yang pernah mengatakan jika ingin menemukan tinggalan peristiwa Bubat, penelitian harus ditujukan ke Tarik.