Tangguhnya Para Santri Perempuan Malang Saat Berkuda

Joki wanita bercadar dalam lomba pacu kuda santri di Malang
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dyah Pitaloka
VIVA.co.id
- Ratusan kuda pacu berkumpul di Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, dalam lomba pacuan kuda tradisional untuk lingkungan pesantren, Minggu 7 Juni 2015.


Sejumlah perempuan berjubah hitam, lengkap dengan cadarnya terlihat antusias bersiap-siap. Berbekal sepatu kets dan boot tanpa helm pengaman, mereka terlihat piawai mengusap ubun-ubun kuda, yang dipercaya menjadi letak keberkahan dari hewan tersebut.


Harus diakui, kompetisi khusus kelas pesantren ini, menjadi momen pertama mereka untuk bertanding secara terbuka disaksikan masyarakat.


Maklum, selama ini tidak ada kompetisi umum yang diikuti. Karena prasyaratnya, melarang mereka berlomba dengan jubah dan cadar. Jadi, mereka hanya berlomba di dalam pesantren, tidak untuk publik.


"Karena kami menggunakan cadar dan jubah, panitia melarang kami ikut kompetisi pacuan kuda. (Sementara) Bagi kami, menutup aurat adalah kewajiban, kami tidak akan meninggalkan kewajiban hanya untuk bisa ikut kompetisi dan menggunakan baju ketat seperti joki umumnya,” ujar Musyarofah, pengelola pesantren An Nashr Malang, Minggu 7 Juni 2015.


Tahun ini, pondok pesantren yang juga mengajarkan santri wanitanya berenang, berkuda, dan memanah ini menjadi pondok pesantren dengan peserta terbanyak baik pria dan wanita. Ada lima penunggang wanita yang disiapkan untuk mengikuti kompetisi itu


Perempuan yang akrab disapa Ova ini mengakui, mereka tak menargetkan menang dalam lomba pacuan kali ini. Baginya, meski ini kompetisi dan melibatkan pesantren lain, namun misi mengenalkan ke khalayak tentang tradisi pesantren jauh lebih diutamakan.


"Target kami syiar sunah Rasul bahwa berkuda ini sunah dilakukan bagi pria dan wanita,” katanya.


Robab, gadis asal Brebes, Jawa Tengah yang kali ini menjadi utusan An Nashr, mengaku cukup grogi dalam lomba kali ini. Meski begitu, ia bersama rekannya yang lain tetap berharap mampu memberikan hasil terbaik di lapangan yang tak lebih dari luas lapangan bola itu.


"Sedikit grogi, karena ini kali pertama kami bermain di luar pondok,” kata Robab.

Dengan menunggang kuda Sumbawa pilihannya Robab dan kawannya bersiap untuk berpacu melawan satu joki wanita , peserta umum.

Setelah diperkenalkan pada penonton yang memenuhi bagian tepi dan tengah jalur pacuan, enam peserta segera diberangkatkan dari garis start untuk berlomba mengitari lapangan yang penuh dengan penonton sekitar lima kali.

Menjelang putaran terakhir, entah mengapa, Robab tampak kehilangan kendali dan membuatnya terpelanting dari punggung kuda yang sedang berlari kencang.


Beberapa penunggang kuda lain ikut terjatuh, lantaran sempitnya jalur pertandingan. Robab sempat terlihat tertelungkup tak bergerak di atas tanah beberapa saat setelah terjatuh.


“Tadi dia tengkurap di tanah, karena bajunya tersingkap dan banyak penonton pria, karena malu dia memilih menutup wajahnya. Dia sehat-sehat,“ kata Ova diikuti anggukan Robab usai perlombaan.


Hari itu, tak hanya Robab yang tampak terjatuh dari kudanya, beberapa peserta lain juga terjatuh dari kudanya. Seorang penonton sempat terjatuh, setelah ditendang seekor kuda pacuan yang mengamuk.


“Kami akui, lapangan ini tidak sesuai standar untuk pacuan kuda. Tetapi, niat kami kemari hanya untuk memperkenalkan pacuan kuda tradisi pondok pesantren, sesuai sunah rasul,” tambah Sofyan, pemimpin pondok An Nashr. (asp)