Tantang Perang Terbuka, Ini Kekuatan OPM di Papua
- VIVA.co.id/Banjir Ambarita
VIVA.co.id - Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah menyatakan akan melakukan perang terbuka dengan pemerintah Indonesia. Kelompok yang telah ada sejak tahun 1965 ini berkomitmen "membebaskan" Papua sebagai negara yang berdaulat di Indonesia Timur.
Pekan lalu, secara beruntun aksi permulaan pembuktian pernyataan perang itu sudah ditunjukkan oleh OPM. Pada Selasa 26 Mei 2015, OPM pun memulai berani unjuk gigi dengan menembaki enam warga sipil di Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya dan menyandera anggota TNI di Kabupaten Painai.
Satu korban penembakan dilaporkan tewas, karena peluru menembus kepalanya. Sementara dua anggota TNI yang dilaporkan disandera, berhasil melarikan diri.
Kedua insiden ini jelas bukan sekadar gertak sambal dari OPM. Pernyataan mereka untuk mengusir pendatang dan menebar ancaman bagi polisi dan tentara, sudah dibuktikan oleh organisasi yang memiliki Bendera Bintang Kejora ini.
"Mulai sekarang kami nyatakan perang revolusi total dari Sorong hingga Merauke, yakni perang secara terbuka terhadap semua orang Indonesia yang ada di tanah Papua," ujar Pimpinan OPM di Kabupaten Lanny Jaya, Puron Wenda, Jumat 22 Mei 2015.
Sejauh ini, Puron tetap memastikan bahwa OPM memang sudah siap untuk menggelar perang terbuka dengan militer Indonesia. Konsolidasi antar pimpinan OPM pun diklaimnya sudah dilakukan.
"Saya sudah persatukan OPM, baik itu pimpinan Leka Telenggen di Yambi, Militer Murib di Ilaga dan Goliat Tabuni di Tingginambut, untuk bersama-sama lawan Indonesia," ujar Puron saat dihubungi kembali pada Senin 1 Juni 2015.
Meski enggan membeberkan secara rinci berapa kekuatan personel mereka di empat pimpinan OPM tersebut. Namun Puron menyebut bahwa setidaknya untuk di kelompok Yambi, dibawah pimpinan Tenga Mati Telenggen dan Leka Telenggen, memiliki anggota sekurangnya 50 orang.
Kelompok itu juga memiliki senjata sedikitnya 16 pucuk laras panjang jenis SSI, AK Moting, Moser, AK 47 dan M16 serta dua laras pendek jenis FN.
"Kami rampas itu (senjata) dari TNI/Polri, senjata yang baru dari Pos Polisi Kulirik, Puncak Jaya beberapa waktu lalu," ujar Puron.
Negosiasi Lemah?
Dalam pernyataannya, Puron memang mengaku sangat menyesalkan sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia. Aksi represif dan pendekatan ala keamanan yang diberlakukan di Papua sejak beberapa dekade oleh negara, mengakumulasi di masyarakat Papua.
Representasi negara yang diwakili TNI dan polisi, ternyata bukan menengahi keadaan. Namun justru menjadikan OPM sebagai buruan. Sebab itu, ketika ada pernyataan Presiden Joko Widodo perihal kondisi Papua yang aman, OPM pun langsung bereaksi.
Menurutnya, sikap presiden tersebut jelas tak merepresentasikan sesungguhnya kondisi di tanah kelahirannya. Sebab, beberapa kejadian justru menunjukkan bahwa warga Papua kerap ditindas, ditangkap dan diamankan atas aspirasinya.
"Karena Presiden klaim Papua aman, jadi kita hajar sipil, pengusaha kios kah, tukang ojek kah, buruh bangunan kah, PNS kah yang penting pendatang," ujar Puron.
Seperti diketahui, awal Mei 2015, Presiden Joko Widodo memang telah menyempatkan diri ke Papua. Dalam kunjungan kerjanya juga Jokowi menyisipkan upaya 'negosiasi' dengan OPM perihal menjaga keamanan di Papua.
Salah satu bentuk negosiasi ini diwujudkan Jokowi dalam bentuk 'barter' dengan membebaskan lima narapidana politik di Papua.
"Ini upaya pemerintah dalam menghapus stigma konflik yang ada di Papua. Kita ingin ciptakan Papua sebagai tanah yang damai," ujar Jokowi di Lapas Abepura sembari menjanjikan bahwa grasi juga akan diberikan kepada sembilan tahanan lainnya secara bertahap.
Bentuk 'negosiasi' lainnya yang dilakukan negara adalah dengan kebijakan Jokowi untuk memberikan akses masuk jurnalis asing ke Papua.
Namun demikian, sayangnya upaya ini tak sepenuhnya menunjukkan hasil. OPM pun tetap bersikukuh untuk berdaulat di tanah kelahiran mereka. "Kami akan terus berperang untuk kemerdekaan Papua," ujar Puron. (ren)