Kisah Sudirman Selamat dari Pembantaian Massal 1965
- VIVA.co.id/ Dwi Royanto
VIVA co.id - Keberhasilan Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia menisankan puluhan korban pembantaian 1965 di Semarang, memunculkan kisah baru. Sejumlah saksi mata yang kini selamat dari tragedi maut itu menceritakan kisah tragis itu di sela prosesi penisanan.
Salah satunya adalah Mbah Sudirman (84). Meski telah berusia senja, akan tetapi masih terngiang di ingatannya tragedi maut yang menimpa teman-teman seangkatannya pada 1965.
Sudirman adalah satu-satunya pemuda yang berhasil lolos dari maut ketika itu. Warga Kaliwungu Kendal itu dulunya memang aktif dalam organisasi kepemudaan. Saat itu usianya masih 34 tahun.
"Dulu saya termasuk anggota angkatan muda. Saya salah satu orang yang aktif di organisasi saat itu. Bersama teman-teman saya yang jadi korban dan dimakamkan di sini," kata Sudirman saat ditemui VIVA co.id di sela prosesi penisanan kuburan Plumbon, Semarang, Senin 1 Juni 2015.
Namun, betapa kagetnya dia, saat pemberangusan orang yang dituduh berafiliasi di Partai Komunis Indonesia itu dilakukan secara membabi buta. Termasuk di wilayah Kendal, Jawa Tengah.
Tanpa tebang pilih, warga yang dicurigai turut terlibat dalam partai itu dikumpulkan di sebuah pabrik padi Pelantara di Kaliwungu. Sudriman salah satunya.
"Malam itu ratusan orang dikumpulkan dan sesudah itu diperiksa. Yang akan ditembak dijejer-jejer (disuruh berbaris). Saya salah satunya," kata Sudirman menceritakan.
Saat datang tengah malam, ratusan warga tersebut dibawa ke lokasi penembakan menggunakan dua truk sampah dari Kaliwungu menuju hutan Dusun Plumbon, Wonosari. Wilayah yang kini masuk dalam area Kota Semarang itu dulunya Kabupaten Kendal.
Tiba di lokasi eksekusi, para tahanan sudah dihadapkan tiga lubang yang disiapkan untuk mengubur mereka. Tanpa pikir panjang sejumlah korban disuruh berdiri berjajar dan ditembaki aparat.
"Waktu itu kondisinya hujan gerimis. Saya yang menunggu giliran, menyaksikan teman-teman perjuangan saya lebih dulu ditembaki berkali-kali di badan," ujar dia. Air mata Sudirman sempat berkaca-kaca mengingat pembantaian massal itu.
Beberapa rekan sejawatnya yang mendapatkan jatah ditembak lebih dulu bahkan sempat memberi pesan terakhir kepada Sudirman. Salah satu yang masih diingatnya adalah pesan Sukandar.
"Sukandar pesen, katanya teruskan perjuangan saya. Jangan pernah menyerah menghadapi apa pun," ujar dia.
Seingat dia, ada 28 orang yang menjadi korban penembakan itu. Sebab dirinya adalah satu di antara orang yang berhasil selamat dari maut. "Saya selamat karena peluru aparat yang menembaki itu habis. Kemudian saya dibawa lagi ke tahanan di Kendal," kata Sudirman.
Meski selamat dari maut, namun setelah itu penderitaan panjang terus menghampirinya. Sudirman bahkan ditahan selama delapan tahun di sejumlah tahanan yakni Kendal, Nusakambangan, dan Semarang.
"Saat di sana diinterogasi dan dipukuli terus. Tapi alhamdulillah saya masih diberi kesempatan hidup. Tapi saya selalu bilang tidak tahu apa-apa. Mereka yang meninggal juga tidak pernah tahu tentang yang dituduhkan," kata dia.
Pasca keluar dari penjara, Sudirman bahkan kerap mendatangi kuburan massal Plumbon untuk mendoakan kawan-kawan yang dikubur dalam dua lubang secara bersamaan. Itu dilakukan selama puluhan tahun, saat kesehatan Sudirman masih normal.
"Dulu sering ke sini sendirian. Biasanya tiap malam Jumat Kliwon. Saat mata saya masih jelas melihat. Saya sadar sebagai satu-satunya yang masih hidup, maka wajib doakan mereka," katanya.
Dia mengaku sering bermimpi ditemui teman-temannya yang sudah meninggal. Satu di antaranya adalah korban perempuan bernama Moetiah. Semasa hidupnya, Moetiah dikenal sebagai guru TK, perempuan yang kerap aktif di kepemudaan wanita.
"Dulu Bu Moetiah sudah mempunyai suami dan anak. Memang dikenal aktif dan pinter, saya mengenal betul sosoknya," ujar dia.
Seperti diketahui, ada dua versi jumlah korban yang bersemayam di dalam satu liang di kuburan Plumbon. Namun identitas pasti yang diketahui baru delapan nama. Versi pertama, kesaksian warga menyebut ada 24 korban yang dikuburkan. Namun ada pula saksi lain yang menyebutkan jumlah korban yang dimakamkan sebanyak 12 orang.
Kedelapan nama antara lain; Moetiah (pada tahun 1965 dikenal sebagai guru TK), Soesatjo (pejabat teras Kendal), Sachroni, Darsono, Joesoef (dulunya carik), Soekandar (carik), Doelkhamid, dan Soerono.