Polemik Sabda Raja, Masyarakat Jangan Ewuh Pakewuh

Sri Sultan HB X dan permaisuri GKR Hemas di Keraton Yogya, Jumat (8/5/2015)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Regina Safri

VIVA.co.id - Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat mengingatkan masyarakat Yogyakarta untuk tidak ewuh pakewuh (segan) terhadap polemik yang terjadi di Keraton.

Polemik Keraton yang saat ini masih mencuat di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta, menurut Romo Tirun--nama lain dari KRT Jatiningrat-- tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja.

Apalagi, hanya dilihat dari segi angka statistik yang menunjukkan respons masyarakat Yogyakarta mengenai polemik tersebut. Sudut pandang berbeda  diperlukan dalam menilai polemik itu.

"Masyarakat Yogyakarta tidak seharusnya hanya menerima, atau setuju-setuju saja dengan apa yang diinginkan Keraton. Bahkan, masyarakat Yogyakarta pun tak seharusnya berdiam diri, tidak peduli dengan permasalahan yang terjadi di Keraton. Sistem kepemimpinan yang ada dalam Keraton Yogyakarta itu adalah monarki dan demokrasi yang sudah menjadi satu," kata Romo Tirun yang juga kakak sepupu Sultan HB X di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu 20 Mei 2015.

Romo Tirun juga mengingatkan masyarakat untuk mempelajari ulang pesan Sultan Hamengku Buwono IX yang menyatakan tahta keraton adalah untuk rakyat. Untuk itu, Romo Tirun meminta masyarakat untuk menyatakan pendapatnya, lantaran sikap ewuh pakewuh justru menghalangi nalar masyarakat.

Namun, Romo Tirun tak menampik masih banyak masyarakat yang memilih tidak berbuat banyak dan membantu Keraton, karena sudah memiliki anggapan bahwa mereka harus menerima dan ikhlas dengan apa yang diputuskan Keraton.

"Saya kembali menegaskan pada masyarakat Yogyakarta, untuk tidak bersikap seperti itu, agar masyarakat Yogyakarta juga bisa ikut menjaga Kasultanan Yogyakarta dan Paugeran asli yang sudah ada sejak zaman Sultan Hamengkubuwo yang pertama."

Sabda dan Dawuh Raja

Hal senada juga disampaikan Arif Noor Hartanto, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, dari fraksi Partai Amanat Nasional. Paugeran Keraton Yogyakarta yang mengatur internal Kasultanan Yogyakarta, dan suksesi Kasultanan tidak bisa dengan mudah diubah. Paugeran Keraton Yogyakarta sudah menyatu dengan hukum formal dan ranah publik.

"Dengan adanya UUK (Undang-undang Keistimewaan) DIY, wilayah internal keraton yang diatur dengan paugeran dengan hukum formal yang diatur UUD 1945 itu sudah menjadi satu. UUK mengintegrasikan kedua wilayah tersebut, sehingga tidak ada lagi wilayah internal absolut. Sebab itu, jika paugeran itu berubah, harus disampaikan dulu pada publik bagaimana paugeran sebelumnya dan bagaimana perubahannya. Apakah masyarakat Yogyakarta setuju dengan perubahan tersebut," ujar Arif.

Namun, Arif menilai UU Keistimewaan Yogya justru membatasi peran masyarakat untuk mengisi jabatan publik, termasuk menjadi gubernur dan wakil gubernur.

"Masyarakat memang sepakat, kalau hak politiknya terkurangi oleh UUK. Namun, kita sebagai masyarakat Yogyakarta bukan seperti memberi 'cek kosong', tetapi ada syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh Kasultanan Yogyakarta. Persyaratan tersebut, adalah dengan ditegakkannya Paugeran Kraton/Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman dalam hal regenerasi/suksesi kepemimpinan. Dan, dalam paugeran yang asli, Sultan itu, ya, memang yang sudah sejak lahir berjenis kelamin laki-laki," ujarnya.

Namun, Arif optimistis polemik Sabda dan Dawuh Raja di Keraton tidak akan menghambat roda pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebab, DIY memiliki UU Keistimewaan.

"Inilah yang seharusnya kita yakini bersama. Kalau pun pada suatu ketika DIY belum memiliki gubernur karena hal-hal tertentu, kita masih memiliki wakil gubernur. Tapi jika ternyata wakil gubernurnya juga tidak ada, kita masih bisa menunjuk pelaksana tugas sebagai gubernur DIY, baik itu dari kalangan pemerintahan atau keraton," ucap politisi PAN itu.

Adanya Undang Undang Keistimewaan DIY juga bisa menjadi alat ukur bagi masyarakat Yogya untuk ikut mengawasi permasalahan Keraton.

"Dan, yang perlu ditegaskan lagi itu adalah bagaimana nasib dari akrobat internal itu? UUK itu tidak akan berubah, karena itu adalah alat untuk melihat apa yang terjadi. Kalau ada yang salah harus diluruskan dan dibenahi dengan UUK itu. Karena itu, marilah kita selamatkan UUK ini, sebba kita saat ini juga sedang diperhatikan oleh Kementerian Dalam Negeri, mampu tidak kita menerapkan UUK di DIY ini. Tetapi, kita juga harus tetap melaksanakan UUK ini secara murni dan konsekuen." (asp)