Polemik Thomas Matulessy Bukan Kapitan Pattimura
Kamis, 21 Mei 2015 - 06:04 WIB
Sumber :
- ANTARA/Embong Salampessy
VIVA.co.id
- Pattimura atau Thomas Matulessy lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817. Dia juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura, seorang pahlawan Maluku sekaligus Pahlawan nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis: "Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayahnya yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan.”
Namun sejarawan Mansyur Suryanegara berbeda pendapat. Dia mengatakan dalam bukunya "Api Sejarah" bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja itu dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Silsilah
Sejarah Pattimura memang penuh polemik. Menelusurinya seperti berhadapan dengan sebuah teori sejarah yang telah mapan sehingga menutup ruang kritik. Sebagian besar kalangan beranggapan bahwa sejarah Pattimura telah selesai. Padahal jurang kelemahan dan nuansa klaim serta pemutarbalikan fakta menganga di depan.
Di Saparua, klaim tentang asal-usul Sang Kapitan sudah ada dan mulai ada ketika sejarah itu mulai digali.
Pada 20 Mei 1960 ditandatangani sebuah daftar silsilah dari Itawaka tentang Thomas Matulessy oleh Kapten Infantri F.L. Siahainenia dan Wattimena dengan judul Turun Temurun Kapitan Matulessy.
Silsilah kemudian baru ditandatangani wakil pemerintah negeri Itawaka, A. Syaranamual, pada 26 Mei 1967. Kemudian disahkan di Jakarta dan ditandatangani Frans Hitipeuw atas nama Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjenbud, Depdikbud.
Kapten Siahainenia adalah salah satu dari dua perwira TNI dari Kodam XV/Pattimura yang diutus berangkat ke Saparua untuk menggali sejarah Pattimura. Kelak bersama Kapten TNI Ma’wa, keduanya dikenal sebagai Tim Penggali Sejarah Pattimura.
Tim inilah yang menyurati Subuh Patty Ayau (Raja) Negeri Latu desa yang bertetangga dengan Desa Hualoy, untuk membawa data atau informasi tuturan tentang Kapitan Pattimura, setelah mendapat petunjuk dari warga Saparua.
Lima orang diutus sebagai perwakilan Raja Latu untuk membawa data dan informasi tuturan sejarah Kapitan Pattimura kepada dua perwira TNI.
Nama baru
Harapan baik warga Negeri Latu saat itu terletak di pundak kedua perwira tersebut. Tapi harapan berubah menjadi traumatik berkepanjangan setelah data dan informasi penyerangan Kapitan ke Benteng Duurstede diputarbalikkan habis-habisan.
Alih-alih membicarakan Kapitan Pattimura, ternyata memunculkan tokoh baru bernama Thomas Matulessy dalam cerita penyerangan itu. Hingga kini, masyarakat Negeri Latu tutup mulut dan tidak percaya kepada siapa pun, termasuk Pemerintah, soal sejarah perjuangan Kapitan Pattimura.
Kemudian pada 28 Mei 1967, F.D. Manuhutu atas nama Ketua Saniri Negeri Haria, menandatangani sebuah daftar silsilah Thomas Matulessy berjudul
Baca Juga :
Setelah itu pada September 1976, I.O. Nanulaita menyusun lagi sebuah daftar silsilah Thomas Matulessy yang diberi judul Silsilah Pattimura versi Ulath. Kesamaan dari ketiga versi silsilah itu adalah Thomas Matulessy tidak kawin. Lantas siapa yang berhak atas Mata Rumah marga Matulessy alias Pattimura? Pernahkah Mata Rumah Matulessy berganti menjadi Pattimura?
Secara akademik juga sudah pernah ditempuh. Pada 5-7 Nopember 1993, para ahli sejarah, analis, dan pemerhati sejarah bersama pemerintah berkumpul dalam sebuah forum ilmiah seminar tentang sejarah perjuangan Pahlawam Nasional Pattimura di Kodam XV Pattimura, yang diselenggarakan Kanwil Depdikbud Provinsi Maluku di Ambon.
Tetapi “Hingga berakhirnya Seminar, belum bisa dipastikan siapa tokoh Kapitan Pattimura yang sesungguhnya”. ( Suara Maluku edisi 8 November 1993).
Menariknya seminar sejarah perjuangan Pattimura itu justru merekomendasikan dalam satu itemnya: Demi kepastian penulisan historiografi perjuangan Pattimura, maka peran marga Pattimura di Negeri Latu dan Silsilah Thomas Matulessy di Saparua dan Haruku, perlu diteliti secara lebih serius (lihat hasil Seminar Sejarah Perjuangan Pattimura, 1993).
Karakter
Karateristik pejuang di masa sebelum kemerdekaan yang berbasis di daerah-daerah, berbeda dengan ketika merebut kemerdekaan. Salah satunya adalah rasa tidak percaya yang kuat terhadap kepada penjajah (Portugis, Inggris dan Belanda).
Wajar bila beberapa kelompok masyarakat menghindar masuk dunia kemiliteran yang dibentuk penjajah karena syarat tertentu yang diberlakukan. Berbeda dengan beberapa kelompok masyarakat memang ikut pelatihan kemiliteran karena kedekatan ideologi (Usman Thalib, 2012).
Sama halnya pada masa Kapitan Pattimura. Penyerangan ke benteng Duurstede di Saparua dengan begitu sadis merupakan bukti bahwa Kapitan Pattimura dan pasukan yang menyertainya begitu menaruh amarah yang cukup membara terhadap penjajah, bangsa apa pun dia.
Dalam sejarah sekarang, Kapitan Pattimura disebut sebagai bekas militer penjajah Inggris lalu melawan Belanda. Itu dinilai tidak sesuai karakter Pattimura dan pasukannya yang sebenarnya. Tetapi asumsi itu bisa benar bila tokohnya adalah Thomas Matulessy, bukan Kapitan Pattimura.
Jadi, Thomas Matulessy dan Kapitan Pattimura adalah dua sosok yang berbeda dan bukan seayah. Kalau benar Thomas Matulessy yang melakukan penyerangan, tepat bila dikatakan peperangan itu adalah “Perang Matulessy” atau “Perang Saparua”, bukan Perang Pattimura.
Kakehan
Kematangan Kapitan Pattimura sesungguhnya bukan oleh binaan penjajah Inggris, tetapi ditempa di organisasi kuno Seram bernama Kakehan yang dibentuk dewan Saniri Waehata Telu (Tala, Eti, Sapalewa).
Wajar bila pasukan yang ikut bersamanya memiliki kemampuan luar biasa, menyerang dalam kondisi gelap gulita dan senyap yang hanya menggunakan parang dan tombak, bukan dengan obor.
Kesadisan pasukan ini di Pulau Seram sudah bukan rahasia lagi. Penjajah Belanda dibuat terkapar bersimbah darah dalam semalam di dalam bentengnya sendiri, termasuk Resident Belanda untuk Kota Saparua, Van den Berg dan keluarganya, kecuali putri Van den Berg, Jeane Lubbert Van den Berg yang dibawa pergi bersama Pasukan Pattimura ketika balik ke Seram.
Pengakuan terhadap terlibatnya Kakehan dalam pertempuran itu sebenarnya sudah diakui, misalnya pernyataan Leirissa: “Perlawanan lainnya yang ditulis dalam sejarah adalah perlawanan yang dilakukan oleh rakyat pulau Seram yang berdiam di pedalaman. Perlawanan ini dipimpin oleh apa yang disebut Kakehan.” (Leirissa, 1975)
Namun, Leirissa tidak menunjukkan dalam peperangan apa Kakehan terlibat. Leirissa seperti menghindar dari peran Kakehan dalam peristiwa 15 Mei 1817. Sementara itu pengakuan yang lain datang dari Z.M.A Matulessy, ahli waris Thomas Matulessy. Dia mengatakan: “Penentuan peperangan ini (Perang Pattimura), berasal dari Saniri Tiga Batang Air Tala, Air Eti dan Air Sapalewa dalam rapat kilatnya di Nusa Ina karena Belanda adalah musuh bebuyutan.” (Wawancara
Suara Maluku
edisi 11 Mei 1993 dengan Z.M.A Matulessy).
Benci terhadap penjajah
Pernyataan itu cukup memberikan gambaran yang kuat tentang keterlibatan kakehan dalam pertempuran berdarah di Saparua. Di titik itu publik jadi mempertanyakan keabsahan pengangkatan Thomas Matulessy sebagai Kapitan sekaligus komandan penyerangan.
Soalnya Thomas Matulessy bukan siapa-siapa di hadapan Dewan Saniri Waehata Telu. Apalagi Thomas pernah menjadi bekas serdadu penjajah. Sangat bertentangan dengan prinsip Kakehan yang serba hati-hati dan penuh kerahasiaan. Begitu pun alasan penyerangannya, bukan karena penjajah Inggris bersitegang dengan penjajah Belanda soal pembagian wilayah pelayaran.
Berbeda dengan itu, latar belakang penyerangan Pattimura dan pasukan Kakehan lebih disebabkan praktik politik belah bambu oleh penjajah Belanda. Warga dibuat pecah dan diusir dari kampung halamannya di Pulau Saparua lari ke pulau Seram (Jufri Pattimura, 2012).
Dari sejarah perjuangan Kapitan Pattimura itu, dapat dilihat bahwa semangat Kapitan Pattimura dan pasukan yang tergabung dalam Kakehan adalah semangat solidaritas yang cukup tinggi. Rasa sepenanggungan muncul karena melihat saudara dan anak cucu Nusa Ina diusir dari kampung halamannya.
Rasa benci terhadap penjajah Belanda terakumulasi karena diskriminasi dan adu domba antarmasyarakat terjadi di mana-mana. Kakehan, sebagai organisasi penjaga teritorial di Seram merasa ingin mengayomi saudara dan anak cucu nusa ina yang sedang menderita muncul berupa amarah dan niat untuk membalas sakit hati kepada penjajah Belanda.
Pada 15 Mei 1817 itulah ditetapkan sebagai hari pembalasan terhadap diskriminasi dan kesewenang-wenangan penjajah lewat rapat Dewan Saniri Waehata Telu atas inisiatif Kapitan Alim Pattimura untuk mengumpulkan seluruh Kapitan Waehata Telu.