Kisah Polisi Hoegeng dan Toko Bunga Istrinya

Jenderal Hoegeng Imam Santoso
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dody Handoko

VIVA.co.id - Presiden Gus Dur punya anekdot. Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Ketiganya adalah patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng. Hoegeng Imam Santosa merupakan Kapolri 1968-1971 yang terkenal jujur dan legendaris. Hoegeng lahir 14 Oktober 1921 di Pekalongan.

Kisah kejujuran Hogeng dikutip dari memoar Hoegeng, Polisi antara Idaman dan Kenyataan, karya Ramadhan KH. Sebagai perwira, Hoegeng hidup pas-pasan. Untuk itulah istri Hoegeng, Merry Roeslani membuka toko bunga. Toko bunga itu cukup laris dan terus berkembang.

Tapi, sehari sebelum Hoegeng akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kini jabatan ini disebut Dirjen Imigrasi) tahun 1960, Hoegeng meminta Merry menutup toko bunga tersebut.

Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan istrinya. Apa hubungannya dilantik sebagai kepala jawatan imigrasi dengan menutup toko bunga.

“Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” kata Hoegeng.

Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang sudah maju dan besar itu.

“Bapak tak ingin orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan bapak,” kata Merry.

Kapolri Hoegeng Imam Santosa pun pernah merasakan godaan suap. Dia pernah dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus penyelundupan. Wanita itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan.

Seperti diketahui, Hoegeng sangat gencar memerangi penyelundupan. Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikatnya.

Wanita ini pun berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng. Tapi si wanita tak putus asa. Dia terus mendekati Hoegeng.

Yang membuat Hoegeng heran, malah koleganya di Kepolisian dan Kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Hoegeng menjadi heran, kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong pengusaha wanita tersebut.

Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya.

Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada, prihatin menyaksikan tingkah polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.

Ceritanya tahun 1955, Kompol Hoegeng mendapat perintah pindah ke Medan. Tugas berat sudah menantinya. Penyelundupan dan perjudian sudah merajalela di kota itu.

Para bandar judi telah menyuap para polisi, tentara dan jaksa di Medan. Mereka yang sebenarnya menguasai hukum. Aparat tidak bisa berbuat apa-apa disogok uang, mobil, perabot mewah dan wanita. Mereka tak ubahnya kacung-kacung para bandar judi.

Bukan tanpa alasan kepolisian mengutus Hoegeng ke Medan. Sejak muda dia dikenal jujur, berani dan antikorupsi. Hoegeng juga haram menerima suap maupun pemberian apapun.

Maka pada 1956, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut. Hoegeng pun pindah dari Surabaya ke Medan. Belum ada rumah dinas untuk Hoegeng dan keluarganya karena rumah dinas di Medan masih ditempati pejabat lama.

Cerita soal keuletan para pengusaha judi benar-benar terbukti. Baru saja Hoegeng mendarat di Pelabuhan Belawan, utusan seorang bandar judi sudah mendekatinya.

Utusan itu menyampaikan selamat datang untuk Hoegeng. Tak lupa, dia juga mengatakan sudah ada mobil dan rumah untuk Hoegeng hadiah dari para pengusaha.

Hoegeng menolak dengan halus. Dia memilih tinggal di Hotel De Boer menunggu sampai rumah dinasnya tersedia.

Kira-kira dua bulan kemudian, saat rumah dinas di Jl Rivai siap ditinggali, bukan main terkejutnya Hoegeng. Rumah dinasnya sudah penuh barang-barang mewah.

Mulai dari kulkas, piano, tape hingga sofa mahal. Hal yang sangat luar biasa. Tahun 1956, kulkas dan piano belum tentu ada di rumah pejabat sekelas menteri sekalipun.

Ternyata barang itu lagi-lagi hadiah dari para bandar judi. Utusan yang menemui Hoegeng di Pelabuhan Belawan datang lagi. Tapi Hoegeng malah meminta agar barang-barang mewah itu dikeluarkan dari rumahnya. Hingga waktu yang ditentukan, utusan itu juga tidak memindahkan barang-barang mewah tersebut.

Dia memerintahkan polisi pembantunya dan para kuli angkut mengeluarkan barang-barang itu dari rumahnya. Diletakkan begitu saja di depan rumah. Bagi Hoegeng itu lebih baik daripada melanggar sumpah jabatan dan sumpah sebagai polisi Republik Indonesia.

Hoegeng geram mendapati para polisi, jaksa dan tentara disuap dan hanya menjadi kacung para bandar judi. “Sebuah kenyataan yang amat memalukan,” ujarnya geram. (ase)